JAKARTA, iNewsTangsel.id - Nama Mesty Ariotedjo belakangan menjadi perbincangan hangat di media sosial. Hal ini bermula dari cuitannya di akun X miliknya yang mengungkap bahwa dirinya tak ingin memiliki sosok pemimpin yang kesulitan mengatur emosinya hingga kerap tantrum dihadapan publik.
Mesty merasa takut ketika dipimpin okeh sosok yang sulit mengatur emosi hingga kerap mengeluarkan kata-kata tak pantas.
LIHAT JUGA: Mesty Ariotedjo Kakak Menpora Dito Sebut Tak Ingin Punya Pemimpin Tantrum, Siapa yang Dimaksud?
Mesty mencoba memberikan pandangannya sebagai seorang dokter anak. Pasalnya, dia kerap menyuarakan soal pentingnya mengatur emosi yang dapat berdampak pada kemmampuan memecahkan masalah.
Lantas, siapa sosok Mesty Ariotedjo?
Mesty memiliki nama lengkap Dwi Lestari Pramesti Ariotedjo. Dia lahir di Jakarta pada 25 April 1989. Dia telah menikah dan memiliki dua orang anak
Mesty merupakan merupakan kakak dari Dito Ariotedjo, yang menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora).
Sesuai yang sempat disebutkannya dalam cuitan yang viral tersebut, Mesty Ariotedjo adalah seorang dokter spesialis anak atau pediatrician. Mesty menyelesaikan pendidikan dokternya di Universitas Indonesia pada tahun 2007 dan 2012.
Mesty melanjutkan pendidikan profesi dokter di Harvard T.H. Chan School of Public Health pada tahun 2017. Selanjutnya, Mesty mendapatkan gelar doktor spesialis anak di Universitas Indonesia.
Mesty kembali melanjutkan pendidikan di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health untuk meraih gelar Magister Kesehatan Masyarakat pada tahun 2021.
Melihat komitmennya di dunia kesehatan, Mesty Ariotedjo juga meraih berbagai prestasi, termasuk masuk dalam daftar "30 Under Asia: Healthcare & Science" versi majalah Forbes.
Fokus pada kesehatan dan juga anak, Mesty Ariotedjo menjadi Co-Founder dan CEO di perusahaan Tentang Anak yang berfokus pada teknologi parenting.
Selain itu, dia pernah menjabat sebagai pendiri dan CMO di WeCare.id yang merupakan situs khusus untuk mengumpulkan dana bagi pasien-pasien di wilayah terpencil yang membutuhkan akses perawatan kesehatan dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait