OPINI
BICARA tentang kasus penembakan polisi yang terjadi di Komplek Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, dilihat dari perspektif kemanan baik di TNI atau Polri tentu saja mempunya standar operation prosedur (SOP). Ada konteks SOP yang harus dilakukan, soal mengeluarkan senjata juga punya standarisasi tersendiri.
Seorang aparat mendapat ancaman, sekalipun ancaman itu berakibat fatal terhadap petugas, tidak boleh langsung mengeluarkan senjata dan mengarahkannya.
Ada prosedur tembakan peringatan terlebih dahulu. Menyoal kasus ini setelah tiga hari setelah kejadian baru disampaikan ke publik tentu saja Polri harus berhati-hati dalam kasus ini.
Sementara ketika kasus ini berada di ranah hukum maka biarkanlah langkah-langkah hukum ini diselesaikan. Dengan sangat cepat dan akurat dengan langsung menonaktifkan pejabat Polri dan melakukan olah TKP.
Dalam suatu instutisi baik TNI atau Polri ada sebuah hirarki yang tidak bisa dikesampingkan, bahwa perintah atasan itu “menjadi suatu kewajiban” bagi para bawahannya.
Di dunia keamananpun dilakukan hal yang sama, apa yang diperintahkan oleh atasan adalah menjadi suatu keharusan untuk dilaksanakan. Persoalan nanti apakah benar atau tidak, ini masuk ke ranah propam tersendiri.
Opini masyarakat terhadap instansi Polri timbul ketidakpercayaan karena lambannya penanganan kasus ini. Ini menjadi tantangan bagi instansi kepolisian, bagaimana menuntaskan kasus ini secara cepat dan terang benderang dan mengambil langkah-langkah yang signifikan.
Kita tidak bisa mengeneralisasi bahwa seluruh masyarakat tidak menyukai institusi Polri. Persoalan masyarakat yang tidak puas atas kinerja Polri, menjadi pekerjaan rumah, bagaimana mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Polri akan berlaku sama dalam penanganan semua kasus yang ditangani dan berlaku bagi aparat penegak hukum sendiri.
Kita juga patut apresiasi terhadap Kapolri, keterbukaan itu sudah dilakukan dengan melakukan publis kepada masyarakat umum. Terlepas terhadap masyarakat yang tidak puas atas kinerja kepolisian, menjadi persoalan lain.
Perlu digaris bawahi institusi Polri melalui Kapolri telah melakukan penanganan kasus ini dengan cepat dan baik.
Sementara terkait SOP tentang penggunaan senjata itu sendiri pihak kepolisian telah melakukan physikotes terhadap anggota Polri secara prosedural.
Namun yang perlu dibenahi itu bukan undang-undangnya, melainkan ditambahkan aturan atau poin-poin dalam melakukan test physikotes tersebut.
Paling penting adalah melakukan pelatihan kembali atau ada kalender pengetesan physikotes yang harus rutin dilakukan untuk memantau apakah petugas masih layak memegang senjata.
Polri PRESISI adalah program kerja Kapolri yang memuat 16 poin di dalamnya, salah satunya Polri harus humanis, harus lebih dekat dengan masyarakat, polri haris bertanggung jawab. Tanpa pengawasan dari masyarakat, program tersebut akan sia-sia.
Kinerja polisi pun sekarang sudah cukup baik, pelayanan terhadap masyarakat sudah cukup meningkat, minimal itu menjadi tolak ukur bagimana Polri PRESISI itu terimplementasi dengan baik.
Merubah citra itu tidak bisa dilakukan oleh satu atau dua orang di sebuah institusi kepolisian, maka dari itu Polri PRESISI itu menjadi stackholder bagi instasi kepolisian yang harus didukung oleh masyarakat.
Bahkan institusi Polri sekarang sudah on track.
Melihat sikap tegas Kapolri dalam kasus ini adalah sebagai pembuktian bahwa program PRESISI itu benar-benar dilaksanakan.
Tentu saja kita harus mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan kepolisian dan menempatkan kasus ini sebagai prioritas untuk mengembalikan kepercayaan terhadap masayarakat.
Oleh: Pengamat Kepolisian, Cendekia Hutama Ilmu-Training & Security Consultant
Rommy Edward Pryambada, SS, M.IKom, CCPS, CRP
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait