HUT Kemerdekaan RI ke 77 pada Rabu 17 Agustus 2022 menjadi momentum bagi bangsa Indonesia mengingat, mengenang begitu besar jasa para pahlawan.
Kemerdekaan bangsa Indonesia tidak lepas dari peran ulama. Ada sederet ulama yang mendapat gelar pahlawan nasional.
Tapi di luar itu juga masih banyak ulama yang memiliki peran sangat besar dalam melawan penjajah.
Salah satunya Kiai Subchi, sebagai ulama sekaigus pejuang asal Parakan, Temanggung mempunyai jasa yang besar saat perang kemerdekaan Indonesia menghadapi penjajah Belanda.
Pada zaman penjajahan dulu daerah Parakan terkenal dengan senjata bambu runcing, senjata yang digunakan pejuang rakyat saat itu.
Bambu runcing adalah sebuah tongkat dari bambu berwarna kuning yang bagian ujungnya dibuat runcing, sebagai senjata yang sederhana namun ampuh setelah diberi doa oleh para kyai untuk melawan penjajah Jepang sebelum kemerdekaan RI, di daerah Kabupaten Temanggung (Jawa Tengah) dan penjajahan Belanda setelah Kemerdekaan (1945-1948) di Ambarawa dan wilayah lainnya.
Salah satu tokoh penggerak para pejuang pada masa itu adalah KH Subchi (nama aslinya ‘Subuki’) yang dijuluki ‘Jenderal Bambu Runcing’ sedangkan tokoh-tokoh yang lain di antaranya Sahid Baidzowi, Ahmad Suwardi, Sumo Gunardo, Kyai Ali, H. Abdurrahman, Istachori Syam'ani Al-Khafidz dan masih banyak lagi yang lain.
\Parakan juga merupakan tempat lahir tokoh perjuangan nasional Mohamad Roem, yang terkenal sebagai delegasi Indonesia dalam perundingan diplomasi Roem-Roijen.
Ulama pejuang yang berjasa dalam memberikan kekuatan pada bambu runcing ialah KH Subchi dari Parakan, Magelang, Jawa Tengah. Kiai Subchi menyepuh bambu runcing para pejuang dan laskar santri dari berbagai daerah, baik yang berasal dari Jawa Tengah maupun Jawa Timur.
Meski sudah berumur lanjut (90 tahun), gerakan Kiai Subchi disebut KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013: 349), masih sigap dan cekatan. Badannya tegap, besar dan tinggi. Pendengaran dan penglihatannya masih awas (jelas), bahkan gigi-giginya masih utuh dan kukuh.
Kisah penyepuhan bambu runcing yang dilakukan oleh Kiai Subchi ini dijelaskan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya "Guruku Orang-Orang dari Pesantren".
Dijelaskan bahwa hampir bersamaan ketika terjadi perlawanan dahsyat dari laskar santri dan rakyat Indonesia di Surabaya pada 10 November 1945, rakyat Semarang mengadakan perlawanan yang sama ketika tentara sekutu juga mendarat di Ibu Kota Jawa Tengah.
Dari peperangan tersebut, lahirlah pertempuran di daerah Jatingaleh, Gombel, dan Ambarawa antara rakyat Indonesia melawan sekutu (Inggris). Pertempuran di Ambarawa pada Desember 1945 dikenal dengan nama Palagan Ambarawa.
Jenderal Sudirman berkunjung ke kediaman Kiai Subchi untuk meminta doa berkah dan bantuan. Jenderal Sudirman sering berperang dalam keadaan suci, untuk mengamalkan doa dari Kiai Subchi. Dari narasi ini, dapat diketahui bahwa Jenderal Sudirman merupakan santri Kiai Subchi.
Baca Juga: KH Hasyim Asy'ari Ulama Sekaligus Pejuang Terapkan 4 Strategi Jitu
Kabar pecahnya peperangan di sejumlah daerah tersebut juga tersiar ke daerah Parakan.
Dengan niat jihad fi sabilillah untuk memperoleh kemerdekaan, Laskar Hizbullah dan Sabilillah Parakan ikut bergabung bersama pasukan lain dari seluruh daerah Kedu.
Setelah berhasil bergabung dengan ribuan tentara lain, mereka berangkat ke medan pertempuran di Surabaya, Semarang dan Ambarawa. Namun sebelum berangkat, mereka terlebih dahulu mampir ke Kawedanan Parakan guna mengisi dan memperkuat diri oleh berbagai macam ilmu kekebalan dari Kiai Haji Subchi.
Didorong semangat jihad yang digelorakan oleh Kiai Hasyim Asyari melalui Resolusi Jihad serta kesadaran agar terlepas dari belenggu penjajahan untuk masa depan anak-anak dan cucu-cucu di Indonesia, Kiai Subchi memberikan bekal berupa doa kepada barisan Hizbullah dan Sabilillah.
Saat itu di kota Temanggung terdapat kekuatan tentara Jepang sebanyak 1 kompi dengan senjata lengkap, yang berkedudukan di alun-alun Mungseng dan di Gudang Seng serta sebagian di sekolahan Banyu Tarung dipimpin oleh Yamakawa seorang Perwira dai Nippon yang kejam.
Para Pemuda Laskar Bambu Runcing (Hisbullah) yang dipimpin oleh Komandan Sulaiman Basyir, beserta BKR selalu siap siaga mencegah kendaraan yang lewat terutama kendaraan Jepang untuk digeledah yang memungkinkan membawa senjata. Setelah keadaan tersebut berlangsung berulang kali kejadian, terjadilah duel/perkelahian antara Hisbullah, BKR dan AMRI, di satu pihak melawan tentara Jepang.
Di satu pihak melawan tentara Jepang sebanyak 9 orang yang sedang jalan-jalan di kota Parakan dan kota Ngadirejo. Dalam perkelahian ini 3 orang Serdadu Jepang tewas, sedang yang 6 orang melarikan diri ke Gunung Sindoro, mayat ketiga orang Jepang tadi kemudian dikubur di kuburan Batuloyo muka Kantor Kecamatan Parakan.
Kejadian tersebut sangat mengkhawatirkan, dimungkinkan akan adanya pembalasan dari tentara Jepang di kota Temanggung yang bersenjata lengkap .
Para pemuda merasa panik dan ketakutan, kemudian berbondong-bondonglah para Anggota Hisbullah BKR datang menghadap KH Subchi yang dianggap sebagai sesepuh di Parakan untuk dimohon gemblengan dan wejangan,
Pemuda di daerah-daerah di luar Kabupaten Temanggung berbondong-bondong datang menghadap kepada Mbah Subeki dengan berjalan, naik truk terbuka dan Pemerintah menyediakan Kereta Api Luar Biasa (KLB).
Naik kereta api sampai penuh sesak dan menaiki di atas kereta api sampai gerbong panjang sekali seperti ular bergerak. Sampai Parakan mereka menghadap Mbah Subeki sampai antri sepanjang jalan Kauman, jalan jetis kulon.
Menurut buku catatan, sekitar 10.000 orang tiap hari selama 1 tahun warga datang ke Parakan. Pada waktu itu pemuda-pemuda dari pulau Jawa-Madura, dan banyak sekali dari Luar Jawa.
Pada waktu itu Kota Parakan, pagi, siang, malam seperti pasar malam, bahkan seperti di Makkah, karena ada antrean panjang seperti para Jamaah Haji di waktu thawaf.
KH Subchi meniupkan doa ke ujung bambu runcing yang disodorkan, tetapi syaratnya berat, diharuskan berendam di kolam (blumbang) Masjid Jami’ Parakan, dengan membaca ayat Alquran Surat Al-an’am ayat 103 dibaca 313 kali. Menyelam di kolam masjid Kauman, membaca ayat Alquran mulai jam 01.00 malam.
Sebelum wejangan, para khadirin dituntun membaca syahadatain. Amanat dan Wejangan, antara lain sebagai berikut;
"Tentara Belanda akan kembali menjajah negara dan bangsa Indonesia lagi, dan akan datang di daerah kita, dan memaksa pada kita supaya menyerah kepada Belanda.
Tetapi hai pemuda-pemuda jangan takut kepada Belanda, kita berjuang melawan Belanda dengan senjata bambu runcing yang diberi do’a, InsyaAllah.
Belanda takut dan pergi dari bumi Indonesia, maka kita harus ingat:
a. Bahwa mati dan hidup itu di tangan Tuhan Allah
b. Dengan nama Allah, kita mohon pertolongan
c. Dengan Tuhan Allah kita mohon perlindungan."
Wallahu a'lam bish-shawab
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait