TERNATE, iNewsTangsel.id - Jamu sudah lama dikenal bangsa Austronesia diduga sejak 25.000 SM yaitu sebelum Paparan Sunda (Sundaland) tenggelam oleh banjir besar di akhir jaman es ke-3 (11.000-10.000 SM). Salah satu tanaman obat asli kawasan Nusantara Barat yang dipakai adalah ‘cabe Jawa’ (Piper retrofractum) yang digunakan sebagai bahan baku jamu ‘cabe lempuyang’ dengan ditambah rimpang ‘lempuyang’ (Zingiber aromaticum).
Sekitar 10.000 SM bangsa Austronesia mulai berlayar ke Pasifik dengan membawa tradisi pembuatan jamu melewati kawasan bangsa Melanesia. Bangsa Melanesia belum mengenal jamu, bahkan juga sebelum tradisi “makan pinang-sirih”. Kontak dan saling kawin dengan bangsa Melanesia sama dengan bangsa Austronesia menetap dan memperkenalkan tradisi “makan pinang-sirih”.
Cabe Jawa’ (P. retrofractum) digantikan dengan ‘wati’ (P. methysticum) atau ‘jamu lempuyang’ yang mengalami perubahan komposisi dengan bahan baru. Zingiber aromaticum dengan digunakan akar ‘wati’. Jamu khas campuran Austronesia dan Melanesia atau sama dengan ‘Kava’.
Sejumlah peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan penelitian rempah dan jamu di Ternate.
Bangsa Austronesia, campuran ‘Austronesia dan Melanesia’ meneruskan pelayaran ke Pasifik (kolonisasi Pasifik) dengan membawa tradisi pembuatan ‘Kava’ dan menyebarkannya ke segenap Pasifik. Kava’ secara budaya dianggap sebagai warisan leluhur Austronesia mereka dan digunakan sebagai minuman perjamuan serta untuk menguatkan tubuh dari masuk angin dan letih-lesu (‘pegel linu’). Untuk mempertahankan stamina, mereka memanfaatkan kegunaan jamu ‘cabe lempuyang’.
Kava dianggap sebagai identitas budaya tradisi masyarakat Pasifik (Melanesia, Micronesia dan Melanesia. Jamu menyebar dari tanah leluhur Austronesia (i.e. Nusantara) ke Pasifik. Kava atau Jamu-nya sendiri (bentuk minuman) jelas merupakan warisan budaya Austronesia dengan bahan baku/komposisi asli Melanesia. Bukti bahwa pergerakan bangsa dan budaya Austronesia ke Pasifik terjadi inter-marriage dengan orang dan budaya Melanesia.
Ary Prihardiyanto Keim
*Penulis adalah Peneliti dari Badan Riset & Inovasi Nasional (BRIN)
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait