Bencana Alam Sumatra Kejahatan Ekologis, Pakar Hukum: Lebih Dahsyat dari Terorisme dan Korupsi!

Aries
Pakar hukum dan akademisi Prof Dr Henry Indraguna SH MH. (Foto: ist)

JAKARTA, iNewsTangsel - Banjir bandang yang melanda Sumatra akhir November 2025 telah menelan korban jiwa mencapai 990 orang hingga Jumat, 12 Desember 2025, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Selain itu, 264 orang masih dinyatakan hilang, memperburuk tragedi kemanusiaan di wilayah tersebut.

Wilayah paling terdampak adalah Aceh dengan 391 korban meninggal, disusul Sumatra Utara 338 jiwa, dan Sumatra Barat 235 jiwa, sementara lebih dari 3,2 juta penduduk mengungsi. Kerusakan infrastruktur mencapai triliunan rupiah, menghancurkan rumah, jalan, dan fasilitas umum secara masif.

Pakar hidrologi dari Universitas Gadjah Mada, Dr Hatma Suryatmaja, menjelaskan bahwa bencana ini merupakan akumulasi kerusakan lingkungan di daerah aliran sungai. "Cuaca ekstrem saat itu hanya pemicu, daya rusak yang terjadi tak lepas dari parahnya kerusakan lingkungan di wilayah hulu hingga hilir DAS," ungkap Dr. Hatma Suryatmojo.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkap siklon tropis Senyar membawa hujan deras, tapi hilangnya 1,4 juta hektare hutan sejak 2016 memperparah banjir. Degradasi ini terkait aktivitas 631 perusahaan pemegang konsesi, yang diduga melakukan konversi lahan tanpa kendali.

Investigasi awal KLH mengidentifikasi 12 subjek hukum, termasuk pemegang Hak Atas Tanah (Hak Guna Usaha/HGU) dan izin pemanfaatan hutan (PBPH), yang diduga terlibat penebangan liar dan konversi lahan untuk perkebunan sawit serta pertambangan. Hal ini melanggar Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana hingga lima tahun dan denda miliaran rupiah.

Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang Prof Dr Henry Indraguna SH MH menyebut kasus bencana Sumatra sebagai pelanggaran berat terhadap UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). 

“Deforestasi tanpa Amdal memicu strict liability, bahkan berpotensi jadi tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman seumur hidup,” kata pakar hukum dan akademisi tersebut dalam keterangannya, di Jakarta, Jumat (12/12/2025).

Prof Henry yang juga Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta ini menambahkan, “Prinsip precautionary dan intergenerational equity dalam Pasal 3 dan 4 UU PPLH diabaikan total. Ini bukan lagi kelalaian, tapi kejahatan ekologis sistematis yang lebih dahsyat dari terorisme dan korupsi biasa.”

Prof Henry mendukung tuntutan aktivis agar banjir ini diklasifikasikan sebagai bencana nasional dan pelaku diperlakukan sebagai pelaku kejahatan luar biasa. “Hukum bagi pelaku kejahatan ekologis harus setara dengan teroris dan koruptor besar agar ada efek jera. Tanpa moratorium deforestasi dan reboisasi komunal, kita bukan penjaga bumi, tapi justru aktor utama kehancurannya,” tandas Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar ini.

Editor : Aris

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network