JAKARTA, iNewstangsel.id - Akademisi sekaligus pakar hukum, Prof Dr Henry Indraguna SH MH, menyampaikan peringatan keras terkait potensi pelemahan pemberantasan korupsi di Indonesia akibat Revisi Undang-Undang KPK (RUU KPK) dan UU BUMN 2025. Prof Henry menilai bahwa RUU KPK berisiko besar merusak independensi lembaga antirasuah tersebut.
"Revisi ini akan menjadikan kewenangan KPK dibarrier dan menempatkannya di bawah eksekutif," tegas Prof Henry dalam keterangannya, di Jakarta, Jumat (9/5/2025).
Profesor dari Unissula Semarang ini mengungkapkan kekhawatirannya bahwa KPK tidak lagi efektif dalam menangani kasus-kasus korupsi besar di masa depan. Kekhawatiran ini diperkuat dengan munculnya pasal imunitas direksi BUMN dalam UU BUMN 2025, yang dianggap sangat berbahaya karena memberikan kekebalan hukum dari penyidikan KPK.
"Kekebalan hukum akan membuka celah penyalahgunaan wewenang," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa BUMN mengelola aset negara yang sangat besar, sehingga pengawasan yang ketat adalah suatu keharusan.
Menurut Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini, filosofi hukum yang paling mendasar adalah keadilan. Hukum yang baik seharusnya mampu mencegah terjadinya kejahatan dan memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku.
"Seperti kata Plato bahwa kita harus membuat hukum untuk mengekang kejahatan, bukan menciptakan celah bagi pelaku," ungkapnya.
Prof Henry menegaskan bahwa undang-undang yang baik harus transparan dan berpihak pada kepentingan rakyat secara luas, bukan hanya melindungi kelompok elite tertentu. Ia mendesak agar pengawasan yang ketat dilakukan terhadap BUMN. UU BUMN 2025 yang telah disahkan DPR pada 4 Februari 2025 lalu memang menuai kontroversi dan protes dari berbagai kalangan, terutama terkait Pasal 9G yang menyatakan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan penyelenggara negara, serta Pasal 3X Ayat (1) yang membatasi kewenangan KPK atas kasus korupsi di BUMN.
Atas hal ini, aktivis IM57+ Institute, Lakso Anindito, mempertanyakan secara retoris mengenai pihak yang berwenang menindak korupsi di BUMN jika direksinya tidak dianggap sebagai penyelenggara negara. Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, juga menyampaikan kritik tajam, menekankan bahwa direksi BUMN bertugas mengelola aset negara, sehingga secara jelas mereka adalah penyelenggara negara, bukan pihak swasta.
"Jika bukan penyelenggara negara. Ini apa?" tanyanya dengan nada heran.
Ironisnya, data dari Kejaksaan Agung hingga Mei 2025 mencatat adanya 12 direktur utama BUMN yang terseret kasus korupsi. Beberapa kasus besar yang mencuat di antaranya melibatkan Riva Siahaan (PT Pertamina Patra Niaga), kasus korupsi timah PT Timah, Heru Hidayat (kasus Jiwasraya), dan Emirsyah Satar (kasus PT Garuda Indonesia). Total kerugian negara dari beberapa kasus menonjol tersebut mencapai angka fantastis, Rp525,28 Triliun, yang setara dengan 14,5% dari APBN 2025.
Melihat fakta-fakta tersebut, Prof Henry kembali mendesak adanya reformasi menyeluruh di tubuh BUMN serta penguatan independensi KPK.
"Korupsi BUMN jelas merugikan rakyat, KPK harus makin independen agar bisa berpihak kepada rakyat selaku pembayar pajak dan pemilik uang negara," tegas Wakil Ketua Dewan Penasehat DPP AMPI tersebut.
Editor : Aris
Artikel Terkait