MEMAKAI sandal salah satu bentuk sunah para Nabi, benarkah demikian? Allah Ta'ala menceritakan Nabi Musa alaihis salam ketika dipanggil di lembah Thuwa, untuk melepas sandalnya:
"Ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: “Hai Musa.” Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada dilembah yang suci, Thuwa. (QS. Thaha: 11-12)
Mengutip pesan Ustaz Ammi Nur Baits di HijrahApp pada Jumat (12/8/2022) menukil Ibnul Arabi mengatakan:
“Sandal termasuk pakaiannya para nabi.”
Dalam hadis dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau memotivasi umatnya untuk banyak menggunakan sandal. Beliau bersabda:
“Sering-seringlah memakai sandal. Karena seseorang akan selalu naik kendaraan selama dia memakai sandal.” (HR. Ahmad 14874, Muslim 5615 dan yang lainnya)
An-Nawawi membuat judul bab untuk hadis ini, Anjuran untuk memakai sandal atau alas kaki lainnya. Kemudian beliau menjelaskan maksud hadis:
Maknanya, bersandal disamakan seperti naik kendaraan dalam hal sama-sama meringankan beban, tidak mudah kelelahan, kakinya lebih terjaga dari bahaya di jalan, seperti duri, jalanan yang kasar, atau kotoran. Hadis ini juga menunjukkan anjuran menggunakan sandal atau apapun yang dibutuhkan ketika safar sebagai perbekalan ketika safar. (Syarh Sahih Muslim, 14/73).
Kapan memakai alas kaki bernilai pahala? Pada asalnya, memakai alas kaki termasuk perkara tradisi, siapapun bisa melakukannya, termasuk orang yang tidak beragama. Karena itu, semata memakai sepatu, bukan termasuk amal yang berpahala.
Kapan ini menjadi berpahala? Jawabannya, jika diniatkan untuk mengikuti perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (al-Imtitsal). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya semua amal tergantung niat, dan sesungguhnya pahala yang diperoleh seseorang tergantung niatnya". (Muttafaq ‘alaih).
Itulah pentingnya memiliki ilmu tentang sunah, sehingga setiap kebiasaan kita yang sesuai sunah, bisa kita niatkan dalam rangka mengikuti sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagian ulama mengatakan, ibadahnya orang yang lalai hanya menjadi kebiasaan, sementara kebiasaan orang yang sadar bisa menjadi ibadah. (Syarh al-Arbain an-Nawawi, Ibnu Utsaimin, halam 9)
Demikian, Allahu a’lam.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta