BANTEN, iNewsTangsel.id - Bagi masyarakat Banten dan sekitarnya, sejarah perjuangan bukan hal yang baru lagi, namun tidak ada buruknya mengingat kembali jiwa patriotiknya dan sepak terjang beliau dalam melawan kezaliman Belanda.
Seorang perempuan berdarah biru dari kesultanan Banten tersebut memiliki postur idealnya seorang bangsawan, berwibawa, menguasai ilmu agama islam, sekti mandraguna dan garang saat di medan perang.
Nyimas Gamparan mampu menggelorakan perlawanan terhadap praktik imperialis dan kolonialisme Hindia Belanda.
Tahun 1813 Hindia Belanda melalui Herman Willem Daendels mengeluarkan kebijakan penghapusan status kesultanan Banten era Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin.
Tindakan sangat merendahkan harga diri jawara dan kultur Banten tidak lain upaya Belanda melumpuhkan penguasa tradisional (kesultanan).
Namun apa daya kekuatan kesultanan tidak seimbang untuk melawan kekejian Belanda, menjadikan anggota keluarga kesultanan termasuk Nyimas Gamparan melakukan diaspora (penyebaran) ke berbagai wilayah Nusantara.
Kemudian 1830 muncul politik cultur stelsel atau sistem tanam paksa oleh Belanda, mewajibkan petani menanam komoditas ekspor seperti kopi dan tebu di tanah petani secara sukarela.
Mengutip Jurnal Ilmu Sejarah berjudul “Pengaruh Politik Culturstelsel Terhadap Perkembangan Masyarakat Indonesia Tahun 1830-1870" oleh Agus Susilo: Adanya Sistem tanam paksa atau culturstelsel oleh Van den Bosh 1830 di Indonesia.
Hal ini dilatar belakangi kesulitan keuangan akibat perang Jawa tahun 1825-1830 dan Belanda melawan Belgia tahun 1830-1831 di negeri Belanda.
Van den Bosh yang diutus Belanda di Indonesia untuk membenahi keuangan Belanda, menerapkan sistem tanam paksa dengan memanfaatkan atau mempengaruhi elit tradisional Indonesia untuk melancarkan usahanya.
Dalam sistem tanam paksa ini, rakyat dibebani berbagai macam pajak dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka.
Keadaan merugikan ini menjadikan keluarga kesultanan mulai merancang aksi balas dendam atau pemberontakan.
Dengan cara sembunyi sembunyi Nyimas Gamparan datang kembali ke kampung jawara (Banten) untuk menyusun rencana, membuat strategi dan meghimpun kekuatan perang melawan kekejaman Belanda.
Gerakan balas dendam atau pemberontakan ini mendapat sambutan baik dari masyarakat dan para jawara perempuan Banten, karena yakin Nyimas mampu melakukan perlawanan.
Tidak butuh waktu lama terbentuklah Laskar Srikandi, didalamnya terdiri puluhan jawara perempuan Banten.
Nyimas Gamparan memberikan pembekalan berupa pendididikan teknik perang, menyusun strategi perang, keahlian penggunaan senjata hingga penguasaan ilmu kanuragan (digdaya).
Sekitar tahun 1830 saat Belanda sedang membangun ruas jalan Anyer sampai Panarukan, dijadikan peluang oleh Nyimas Gamparan untuk melancarkan aksinya dengan menggunakan strategi perang gerilya.
Sepanjang wilayah Cikande, Rangkasbitung hingga Serang menjadi medan pertempuran antara Laskar Srikandi dan pasaukan Belanda.
Dengan kegigihan perang malam hari, menggunakan berbagai senjata, kedigdayaan, penguasaan medan dan teknik perang susah diprediksi musuh, mampu memukul pihak Belanda.
Aksi heroik Nyimas beserta Laskar Srikandi kurun waktu 1829 -1830 dikenal dengan perang Cikande ini megakibakan banyak pasukan tewas, terpojok, melarikan diri bahkan menimbulkan banyak kerugian yang harus ditanggung Belanda, meskipun perang tersebut sudah menggunakan artileri moderen kala itu.
Perang sulit diimbangi ini menjadikan pemimpin milter Belanda tambah murka maka tercetuslah ide baru untuk mengalahkan Laskar Srikandi dengan memanfaatkan politik devide et impera.
Selain itu konsep perang yang mengkombinasikan antara strategi politik, militer, dan ekonomi bertujuan mendapatkan sekaligus menjaga kekuasaan.
Dalam catatan Rolip Saptamaji berjudul ‘Strategi Politik: Memahami Operasi Strategi Devide et impera’ mengatakan: Strategi ini memiliki titik balik ketika kelompok yang terbelah tersebut mulai memahami keterpisahan mereka dan kesamaan kepentingan mereka.
Selain itu juga ketika konflik yang melebar secara horizontal dapat diselesaikan, koordinat konflik akan berubah pada koordinat vertikal sehingga pengguna strategi ini dapat diidentifikasi dengan mudah sebagai musuh.
Perjuangan kemerdekaan nasional merupakan salah satu bentuknya.
Dimulai dengan mencari bala bantuan kepada militan lokal yang mampu menguasai medan perang, mengetahui kelemahan lawan dan memiliki kesaktian.
Muncullah nama Raden Tumenggung Karnanata Nagara seorang Demang di Jasinga Bogor. jawara sakti mandraguna, berwibawa, pilih tanding dan mudah menghimpun kekuatan untuk melawan Nyimas Gamparan dan Laskarnya.
Terjadilah kesepakatan antara demang dan Belanda. Jika berhasil mengalahkan Nyimas Gamparan dan laskarnya konon akan mendapatkan wilayah kekuasaan di Rangkasbitung.
Dalam sekejab Ki Demang berhasil mengumpulkan pasukan pilihan. Strategi perang, teknik perang dan ilmu kanuraganya diberikan kepada pasukanya sebagai bekal melawan Laskar Srikandi sekaligus menumpas Panglima Perangnya.
Saat Nyimas Gamparan bersama Laskar Srikandi melakukan tour of duty dari Balaraja menuju Rangkasbitung di Pamarayan mendapat penghadangan dari pasukan Ki Demang.
Dalam peperangan ini, Balaraja memiliki catatan khusus sebab kala itu daerah ini menjadi Markas Besar Laskas Srikandi di Desa Kuba yang berada di dalam hutan pedalaman angker sehingga sulit dilacak oleh pasukan Belanda.
Tidak dapat dielakan lagi maka terjadilah pertempuran melibatkan Laskar Nyimas Gamparan dengan pasukan Belanda dibantu sekutunya yaitu pasukan Ki Demang.
Karena jumlah kekuatan dan kemampuan tidak lagi seimbang ditambah adanya unsur penghianatan dari Ki Demang mengakibatkan banyak korban menimpa Laskar Srikandi bahkan Sang Panglima Srikandi juga terpojok hingga wafat.
Editor : Mochamad Ade Maulidin