JAKARTA, iNewsTangsel.id - Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) menggelar Seminar Nasional yang bertajuk “Lanskap Strategis Asia Tenggara di Era Geopolitik 5.0” pada Rabu (15/11/2023). Bertempat di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, kegiatan diselenggarakan secara hibrida dengan menghadirkan narasumber dari beberapa perwakilan kedutaan besar negara sahabat dan akademisi, diantaranya Konselor Politik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia Kyle A. Richardson; Wakil Duta Besar India untuk Indonesia Basir Ahmed; perwakilan Kementerian Perekonomian dan
Pembangunan Jepang Ueda Hajime; ahli pertahanan dan dosen Universitas Bina Nusantara Curie Maharani Savitri; dan dosen senior Universitas Islam Internasional Indonesia Moch Faisal Karim.
Seminar yang dilaksanakan oleh Direktorat Pengkajian Ideologi dan Politik ini merupakan bagian dari rangkaian seminar yang diselenggarakan oleh Deputi Bidang Pengkajian Strategik Lemhannas RI sejak Mei 2023.
Tema lanskap geopolitik Asia Tenggara dipilih sebagai topik seminar sebagai kontribusi dalam menyemarakkan Keketuaan Indonesia di ASEAN yang akan berakhir pada bulan Desember 2023. Asia Tenggara sebagai mandala persimpangan telah menjadi salah satu rute perdagangan padat dan sumber daya alam paling menarik.
Dalam sejarah, Asia Tenggara tercatat sebagai bagian dari kompetisi pengaruh negara adidaya mulai abad 15. Pergeseran koloni dari Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang menjadi ciri khas fase pertama geopolitik,yaitu pra Perang Dunia I yang berkaitan dengan kompetisi perluasan kekuatan darat dan laut.
Periode antara Perang Dunia I dan II menandai masuknya fase geopolitik selanjutnya. Fase itu terpusat pada kekuatan di Eropa yang ditentukan oleh kekuatan axis versus sekutu. Hal ini berdampak pada negara-negara jajahan di Asia Tenggara era kolonialisme berakhir dan munculnya negara-negara merdeka baru.
Fase geopolitik ketiga ditunjukkan selama masa Perang Dingin, yakni adanya pertarungan hegemon antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Setelah perang Vietnam, Asia Tenggara menjadi salah satu titik proksi perseteruan dua hegemon.
Ketika Perang Dingin berakhir, persaingan negara-negara beralih pada perebutan sumber daya,terutama energi dan unipolaritas global di bawah Pax America. Munculnyapembangunan kekuatan ruang angkasa itu menandai fase geopolitik keempat.
Memasuki tahun 2000-an, kekuatan siber muncul sebagai akibat dari kemajuan teknologi, bersama dengan kekuatan ekonomi baru seperti Tiongkok. Negara-negara bersaing untuk menguasai sumber daya melalui kontrol rantai pasok (konektivitas), sebagai ciri era geopolitik fase kelima (geopolitik 5.0). Hal ini disebabkan disrupsi teknologi dan ketidakpastian global seperti pandemik.
Asia Tenggara juga tak luput terpengaruh dalam dinamika konflik konektivitas pada jalur maritim maupun rantai kerja sama ekonomi. Kekuatan siber dan konektivitas menjadi elemen penting dalam kompetisi dan kerja sama global. Stabilitas keamanan maritim menunjukkan konektivitas karena merupakan cara utama untuk menghubungkan rantai pasok dan rute perdagangan di seluruh dunia.
Begitu pula kekuatan siber dan digital yang telah menjadi enabler dalam pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor lain. Dengan berubahnya karakteristik dan instrumen geopolitik, diharapkan para narasumber dapat berdiskusi dan bertukar pandangan mengenai relevansi peran dan posisi kawasan Asia Tenggara di era geopolitik 5.0.
Laksamana Madya TNI Maman Firmansyah selaku Plt Gubernur Lemhannas RI dalam pidato sambutannya, menyampaikan takdir geopolitik Asia Tenggara yang mempunyai peran penting dalam stabilitas global dengan posisi yang strategis dan sebagai penghubung rantai pasok global. Di sisi lain, melalui seminar ini, diharapkan Lemhannas sebagai sekolah geopolitik juga dapat memberikan wawasan serta perspektif konstruktif mengenai dinamika geopolitik kawasan yang berkembang saat ini.
Editor : Hasiholan Siahaan