Oleh: Aiysa Laras Kinasih Sudarsono
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum (Universitas Pamulang)
DEPOK, iNewsTangsel.id - Parkir liar menjadi problem tersendiri bagi kota-kota besar di Indonesia. Parkir liar ini tak hanya mengakibatkan kemacetan dan kesemrawutan kota, namun juga memunculkan aksi premanisme.
Depok dan Tangerang Selatan pun tak luput dari maraknya parkir liar. Sebagai daerah penyangga Kota Metropolitan Jakarta, Depok dan Tangerang Selatan, populasi kendaraan di dua daerah ini pun juga makin banyak.
Ironisnya, di dua daerah ini kantong parkir resmi jarang ditemui. Kondisi inilah yang mengakibatkan maraknya praktik parkir liar.
Di Kota Depok, parkir liar biasanya di bahu-bahu jalan. Kondisi ini menyebabkan kemacetan lalu lintas yang semakin parah. Parkir-parkir liar yang semakin membeludak terlihat di Jalan Margonda mulai dari arah pertigaan Akses UI menuju lampu merah Siliwangi, begitupun sebaliknya. Kemudian Jalan Siliwangi menuju Jalan Tole Iskandar dan Simpangan Depok. Begitu juga Jalan Kartini ke arah Grand Depok City Sukmajaya, Jalan Komjen M. Yasin, Jalan Raya Bogor. Mobil-mobil dan motor-motor parkir di bahu jalan hingga menghabiskan dua lajur jalan.
Sementara itu di Tangerang Selatan parkir liar biasa terlihat di sekitaran Pasar Ciputat. Sama halnya yang terjadi di Depok, parkir liar di seputaran Pasar Ciputat dilakukan di bahu-bahu jalan. Kondisi ini mengakibatkan kemacetan dan pemandangan yang semrawut.
Seorang juru parkir liar di depan Pusat Perbelanjaan International Trade Centre (ITC) Jalan Margonda yang mengaku bernama Roni mengaku dalam sehari bisa mengantongi Rp150.000 hingga Rp200.000 dari hasil parkir liar. Namun, uang itu tidak semua masuk kantongnya. Ada perjanjian tidak tertulis dengan jaringan pengelola lahan parkir.
Dia harus berbagi hasil keringat. Roni biasanya setor Rp50.000 per hari jika kondisi sepi. Namun jika ramai, dia menyetor ke jaringannya Rp70.000-100.000.
Dalam mengelola parkir, Roni mengaku hanya berbekal peluit usang dan rompi oranye yang dikenakan. Dalam pengakuannya, ia sudah lima tahun bekerja sebagai juru parkir. Selama itu Roni mengaku tidak pernah disanksi petugas dari Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Depok.
Sementara itu juru parkir lainnya Engkus mengatakan menekuni pekerjaan sebagai juru parkir sudah tiga tahun. Sehari-hari, mengatur parkiran di depan toko obat yang berada di Jalan Tole Iskandar. Setiap bulan Engkus harus menyetor uang keamanan kepada ormas yang mengklaim sebagai pemilik lahan. Nominal setoran tergantung penghasilan yang didapat. Ia bisa mengantongi uang hingga Rp150.000 per hari. Ia memberi setoran ke ormas Rp100.000 setiap bulan.
Baik Roni maupun Engkus menyadari bahwa yang mengelola parkir adalah Dinas Perhubungan Kota Depok. Tapi mereka menilai Dishub tak ambil pusing. Roni mengatakan parkir di jalan Margonda, samping Kantor Wali Kota Depok banyak ditemukan parkir liar sehingga menimbulkan kemacetan. Menurutnya, semrawutnya parkir karena Dishub hanya memberikan teguran saja bagi pengendara yang terbukti parkir memakan sisi jalan hingga kendaraan membeludak.
Kantong Parkir
Kurangnya lahan parkir pada kawasan yang menjadi pusat aktivitas masyarakat menyebabkan kendaraan menggunakan badan jalan sebagai tempat parkir. Hal tersebut menyebabkan kapasitas ruas jalan atau simpang menjadi berkurang dan menyebabkan arus lalu lintas terhambat.
Selain itu kendaraan yang bermanuver untuk memarkirkan kendaraan atau melanjutkan kembali perjalanannya menyebabkan tundaan lalu lintas. Hal tersebutlah yang menyebabkan sirkulasi lalu lintas terganggu dan terjadinya kemacetan terutama pada saat jam-jam puncak. Oleh sebab itu, di sini perlu adanya kantong parkir sebagai salah satu solusi mengatasi parkir liar.
Keberadaan kantong parkir ini sangat mendesak mengingat maraknya parkir liar di Depok maupun Tangerang Selatan. Kantong-kantong parkir ini tidak hanya menyelesaikan persoalan parkir liar, namun juga bisa mendatangkan pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari retribusi parkir di kantong-kantong parkir tersebut.
Editor : Hasiholan Siahaan