Genosida Gaza Harus Diakhiri, Adara Desak Dunia Buka Mata

JAKARTA, iNewsTangsel.id - “Genosida yang terjadi di Gaza bukan semata soal konflik, tapi tentang kemanusiaan yang telah lama diabaikan dunia,” ujar Maryam Rachmayani, Direktur Utama Adara Relief International, dengan suara lantang dalam seminar memperingati 77 tahun tragedi Nakba di Gedung Nusantara V, DPR RI.
Dalam forum bertajuk “From the Shadows of Nakba: Breaking the Silence, End the Ongoing Genocide”, Maryam menggugah kesadaran publik: sudah saatnya dunia berhenti bungkam atas penderitaan rakyat Palestina. Seminar ini menjadi bagian dari upaya Adara untuk tidak hanya mengenang sejarah pilu pengusiran rakyat Palestina tahun 1948, tetapi juga menyuarakan tragedi kemanusiaan yang masih berlangsung hingga hari ini.
“Isu Palestina adalah tanggung jawab kita semua,” tegas Maryam. “Sudah terlalu lama dunia menutup mata.” ujarnya, Rabu (28/5/2025).
Acara ini menghadirkan lebih dari 400 peserta dari berbagai latar belakang — akademisi, aktivis, pelajar, tokoh masyarakat, hingga influencer seperti Chiki Fawzi, Bella Fawzi, dan Elsa Masyita. Di ruang yang dipenuhi empati dan semangat solidaritas itu, narasi-narasi yang selama ini dibungkam mulai disuarakan kembali.
Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. Hidayat Nur Wahid, M.A., hadir sebagai pembicara utama. Dalam pidatonya, ia menegaskan bahwa perjuangan Palestina memiliki legitimasi yang kuat di mata hukum internasional. “Ketika Israel menyerang Palestina, mereka menyerang sebuah negara yang telah diakui oleh 143 negara anggota PBB,” ujarnya.
Seminar ini juga menghadirkan kesaksian langsung dari para saksi kemanusiaan yang baru saja kembali dari Gaza. Prof. Dr. dr. Basuki Supartono, Sp.OT., FICS, MARS., yang menjadi relawan medis di wilayah konflik, menegaskan bahwa penghancuran sistem kesehatan di Gaza adalah tindakan yang disengaja, bukan akibat dari ‘kesalahan target’. Rumah sakit, tenaga medis, hingga ambulans menjadi sasaran sistematis.
Sementara itu, jurnalis Al Jazeera English, Maher Abu Quta, mengungkap sisi lain dari agresi militer: serangan terhadap media. “Mereka membungkam suara kebenaran. Media menjadi target, kantor-kantor dihancurkan, jurnalis dilarang masuk, bahkan keluarga kami pun tidak luput dari ancaman,” katanya tegas.
Kisah paling menyentuh datang dari jurnalis Youmna Al Sayed. Dengan suara yang nyaris pecah, ia menggambarkan ketegangan yang dialaminya sehari-hari di Gaza. “Setiap lima menit, rumahku ditembaki. Aku tahu ini harga yang harus kubayar karena memberitakan kebenaran tentang bangsaku. Tapi aku membayarnya dengan keselamatan keluargaku.”
Suasana haru menyelimuti ruangan, tapi semangat tak padam. Sesi tanya jawab yang dipandu Sita Paprika dari TV One membuka ruang interaksi yang hangat dan reflektif. Di akhir acara, Adara meluncurkan gerakan Satu Rumah Satu Aqsa (SRSA), sebuah inisiatif untuk menanamkan semangat perjuangan Palestina dari dalam rumah tangga Indonesia.
“Perubahan besar selalu dimulai dari rumah. Dari kesadaran kecil yang kita tanamkan kepada keluarga kita,” ujar Maryam menutup seminar.
Bagi peserta, acara ini bukan sekadar seminar. Ia adalah ruang perlawanan, seruan bersama untuk tidak lagi diam di hadapan ketidakadilan. Influencer sekaligus aktivis Palestina, Elsa Masyita, merangkum semuanya dalam satu kalimat penuh makna:
“Yang kita tahu dari berita, itu baru 10% dari kenyataannya. Dan itu sudah cukup untuk menyadarkan kita: diam adalah pengkhianatan.” ujarnya.
Editor : Hasiholan Siahaan