Ya di malam takbir itu ayahnda bersama beberapa unit pasukan Brimob dikepung habis-habisan oleh pasukan pemberontak Fretilin. Pasukan inilah yang selalu membuat kekacauan di Timor-Timur kala itu.
Ayahanda kami dikepung dari segala penjuru mulai malam takbir hingga pagi menjelang disaat umat Islam bersiap menuju masjid, menuju tanah lapang bersama keluarga untuk menegakkan Sholat Idul Fitri.
Ayahanda bukanlah anggota TNI AD yang berada dalam kesatuan pasukan batalyon yang dikirim ke sana. Dia adalah anggota TNI AD yang dipercaya negara menjadi anggota Badan Intelijen Strategis (BAIS), sebelumnya bernama Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat).
Dari dialah informasi keberadaan musuh harus didapatkan. Dari dialah kekuatan dan kelemahan pasukan Fretlin harus didapatkan untuk seterusnya dilaporkan ke pimpinan. Tanpa ada laporan intelijen, maka unit pasukan RI akan sulit mendeteksi dan menghancurkan pemberontak.
Kembali lagi pada malam takbir yang mencekam. Ayahanda dan beberapa pasukan Brimob yang bersama dirinya tidak dapat bergerak dihujani peluru. Desing peluru terus melesak tanpa henti. "Saat peluru itu melesat, sangat jelas warnahnya merah terlihat dikegelapan malam," ujar ayahanda suatu ketika menceritakan kembali apa yang dialaminya kepada penulis.
"Apakah tidak bisa membalas serangan itu, ayah. Tidak bisa nak, karena Fretilin sudah menyebar ke mana-mana, mengepung ayah. Suara desing peluru itu terus menghujani lokasi ayah berlindung. Ayah tetap tiarap, tiarap sepanjang malam hingga pagi menjelang. Yang ayah tahu saat itu adalah malam takbir," ujarnya mengisahkan kembali.
"Jadi ayah tidak bisa membalas tembakan mereka. Tidak bisa nak, ayah hanya memegang senjata api jenis revolver, mereka pemberontak yang ayah ketahui menggunakan senjata serbu AK-47 buatan Uni Soviet,"
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta