Ombudsman RI Ingatkan Pemerintah Mitigasi Kemungkinan Terburuk Mahalnya Harga Beras

A.Ichwan
Ombudsman RI mendorong agar pemerintah menjadi fasilitator untuk membangun kerja sama antara penggilingan padi kecil dan penggilingan padi besar.

JAKARTA, iNewsTangsel.id - Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengingatkan pemerintah agar melakukan mitigasi serius terhadap dampak yang ditimbulkan dari kenaikan harga beras, dengan mempertimbangkan seluruh kemungkinan terburuk. Sehingga, naiknya harga beras tidak berdampak besar seperti yang ditimbulkan saat kenaikan harga minyak goreng pada tahun 2022 lalu. Hal tersebut disampaikan Yeka di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Rabu (13/9/2023).

Sebelumnya, Ombudsman RI telah mempertemukan para stakeholder terkait pada 12 September 2023 untuk melihat peta permasalahan dan solusi di balik meningkatnya harga beras. Turut hadir dalam pertemuan tersebut, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Suwandi, serta sejumlah perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Badan Pangan Nasional, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Pemprov Banten, Pemkab Serang, Bulog, Perkumpulan Penggilingan Padi dan Penguasaha Beras Indonesia (Perpadi), PT Wilmar Padi Indonesia dan PT. Buyung Poetra Sembada.

"Berkaca pada kasus minyak goreng, kesalahan pemerintah adalah ketidakmampuan mitigasi terhadap harga CPO (Crude Palm Oil) yang sebenarnya sudah terpantau meningkat pada tahun 2020 dan akhirnya pada 2022 kita mengalami permasalahan kenaikan harga minyak goreng. Hal ini jangan sampai terulang kembali, karena saat ini harga gabah dan beras juga sudah mulai mengalami peningkatan," tegas Yeka.

Yeka melihat bahwa kenaikan harga beras dipengaruhi oleh tiga faktor yakni berkurangnya pasokan gabah ke penggilingan padi, adanya kesenjangan antara kapasitas penggilingan padi yang terpasang dengan produksi gabah dan suplai beras di dunia yang menipis.

"Terkait penyebab pertama, Ombudsman melihat saat ini dengan semakin kecilnya luas penguasaan lahan sawah mengakibatkan motivasi petani untuk menahan gabah lebih tinggi daripada menjual gabah," pungkasnya.  

Yeka mencontohkan kasus yang terjadi di Desa Bantarjati, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor tidak ada satu pun petani yang menjual gabah hasil panennya. Mereka lebih memilih untuk menyimpan dan kemudian menggiling gabahnya sesuai keperluan sehari-hari. Dengan seperti itu, menurut hitungan mereka, sama dengan membeli beras dengan harga yang jauh lebih murah. Akibat dari kondisi ini, suplai gabah di pasar menjadi berkurang.

Penyebab kedua adalah adanya kesenjangan antara kapasitas penggilingan padi terpasang dengan produksi gabah. Yeka mengatakan, menurut keterangan Persatuan Perusahaan Penggilingan Padi (Perpadi), kapasitas terpasang mesin penggilingan padi saat ini mampu untuk memproduksi 100 juta ton per tahun, sementara suplainya hanya berkisar 54 juta per tahun. "Sehingga semua penggilingan padi berjalan di bawah kapasitas produksinya yang mengakibatkan rebutan gabah di tingkat penggilingan padi. Alhasil, harga gabah naik tidak karu- karuan,” ucap Yeka.

Selain itu Yeka juga menyinggung penyebab faktor ke tiga yaitu mahalnya beras disebabkan karena suplai beras di pasar internasional sudah menipis. Hal ini diindikasikan dengan sulitnya mencari beras impor. Masih ada kewajiban Bulog untuk mengimpor beras sebanyak 400.000 ton. Selain itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa Bulog perlu melakukan evaluasi tata kelola impor beras yang dilakukan selama ini, agar Indonesia mampu berstrategi untuk mendapatkan beras impor di tengah tipisnya suplai beras di pasar internasional. 

Dalam menyikapi kondisi tersebut, Ombudsman RI mendorong agar pemerintah melakukan evaluasi penerapan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras. "Harga HET ini hanya berlaku di pasar modern sedangkan di pasar tradisional HET ini kerap kali dilanggar sehingga tidak terwujud. Evaluasi HET akan memperlancar pasokan beras di pasar modern. Saat ini, beberapa pasar modern sudah melakukan pembatasan dalam pembelian beras. Hal ini tidak boleh terjadi, karena bisa memicu panic buying," pungkas Yeka.

Berkaca lagi pada kasus minyak goreng, Yeka menegaskan, Pemerintah perlu dengan jujur mengkomunikasikan permasalahan ini kepada masyarakat sambil menyusun langkah cepat dalam meningkatkan produksi beras dalam negeri.

Terakhir, dalam rangka membangun iklim usaha yang kondusif, Ombudsman RI mendorong agar pemerintah menjadi fasilitator untuk membangun kerja sama antara penggilingan padi kecil dan penggilingan padi besar. Yeka mengingatkan, jangan sampai kasus PT IBU terulang lagi akibat persaingan mendapatkan gabah antar penggilingan padi. Karena tidak ada keuntungan akibat kejadian tersebut di masa lalu.

Editor : Hasiholan Siahaan

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network