Kenaikan Pangkat Bintang Kehormatan untuk Prabowo

hasiholan
Presiden Jokowi dan Menhan Prabowo Subianto

JAKARTA, iNewsTangsel.id - Rencana Presiden Joko Widodo untuk memberikan kenaikan pangkat Jenderal Kehormatan kepada Prabowo Subianto telah tersebar luas. Mabes TNI dan Stafsus Menteri Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak telah mengkonfirmasi bahwa Prabowo hari ini diberikan pangkat kehormatan Jenderal Bintang Empat penuh, Rabu (28/2/2024).

SETARA Institute menyatakan bahwa secara yuridis, kenaikan pangkat kehormatan tersebut tidak sah dan ilegal. UU Nomor 34 tahun 2024 tentang Tentara Nasional Indonesia tidak mengakui bintang kehormatan sebagai pangkat militer. Bintang sebagai pangkat militer hanya berlaku untuk Perwira Tinggi dalam TNI aktif, bukan untuk purnawirawan atau pensiunan.

Jika mengacu pada UU No 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, maka Bintang yang dimaksud dalam UU tersebut adalah Bintang sebagai Tanda Kehormatan. Menurut Pasal 7 Ayat (3), Bintang tersebut mencakup Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Yudha Dharma, Bintang Kartika Eka Pakçi, Bintang Jalasena, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa, bukan bintang sebagai pangkat kemiliteran perwira tinggi bagi purnawirawan militer.

Secara lebih spesifik, jika merujuk kepada Peraturan Menteri Pertahanan No. 18 Tahun 2012, pemberian kenaikan pangkat ini juga menjadi pertanyaan besar. Dalam ketentuan umum peraturan ini, disebutkan bahwa Kenaikan Pangkat Istimewa diberikan kepada PNS dengan prestasi luar biasa baik. Sedangkan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) diberikan kepada Prajurit yang mengemban penugasan khusus dengan pertahanan jiwa dan raga secara langsung dan berjasa dalam panggilan tugasnya. Dalam kedua kategori ini, tentu Prabowo tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan tersebut.

Selain itu, pemberian bintang kehormatan sebagai pangkat militer perwira tinggi kepada Prabowo menjadi masalah jika dilakukan oleh Jokowi. Seperti yang diketahui, Prabowo pensiun dari dinas kemiliteran karena diberhentikan melalui KEP/03/VIII/1998/DKP dan Keppres No. 62 Tahun 1998, bukan karena mencapai usia pensiun. Dengan demikian, keabsahan pemberian bintang kehormatan itu menjadi bermasalah. Ini menjadi sebuah kontradiksi jika seseorang yang diberhentikan dari dinas kemiliteran kemudian dianugerahi gelar kehormatan kemiliteran.

Selanjutnya, pemberian gelar kehormatan Jenderal Bintang Empat kepada Prabowo merupakan langkah politik Jokowi yang menghina dan merendahkan korban serta pembela HAM, terutama dalam Tragedi Penculikan Aktivis 1997-1998. Dugaan keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan aktivis tersebut sudah jelas dinyatakan oleh lembaga ad hoc kemiliteran resmi yang dibentuk oleh negara bernama Dewan Kehormatan Perwira (DKP), yang merekomendasikan pemberhentian Prabowo dari dinas kemiliteran, yang kemudian diakui dalam bentuk Keputusan Presiden. Negara dengan tegas menyatakan bahwa Prabowo merupakan pelanggar HAM, berdasarkan keputusan Negara.

Maka, langkah politik Jokowi tersebut jelas bertentangan dengan hukum negara tentang pemberhentian Prabowo dan pada saat yang sama menghina para korban serta pembela HAM yang terus berjuang mencari keadilan.

Ketiga, dari segi etika kepublikan, langkah Presiden Joko Widodo dalam memberikan bintang kehormatan tersebut juga menimbulkan kontroversi. Seharusnya, Presiden lebih mempertimbangkan nasib sebagian besar rakyat yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi serius akibat kenaikan harga beras dan barang kebutuhan pokok lainnya, daripada mengambil langkah politik untuk memberikan Bintang Kehormatan kepada Prabowo dengan pertimbangan politik, yaitu 'menanam' jasa kepada Prabowo yang diproyeksikan menjadi Presiden RI berikutnya oleh Joko Widodo.

Oleh karena itu, SETARA Institute menuntut agar Jokowi membatalkan rencana tersebut dan mengurungkan pemberian bintang kehormatan kemiliteran kepada Prabowo. Jika tuntutan ini diabaikan, maka semakin jelas bahwa di akhir periode pemerintahannya, Presiden Joko Widodo lebih cenderung menunjukkan tindakan politik dan pemerintahan yang bertentangan dengan hukum, melawan aspirasi publik, dan mengabaikan hak asasi manusia.

Ketiga, dari segi etika kepublikan, langkah Presiden Joko Widodo dalam memberikan bintang kehormatan tersebut juga menimbulkan kontroversi. Seharusnya, Presiden lebih mempertimbangkan nasib sebagian besar rakyat yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi serius akibat kenaikan harga beras dan barang kebutuhan pokok lainnya, daripada mengambil langkah politik untuk memberikan Bintang Kehormatan kepada Prabowo dengan pertimbangan politik, yaitu 'menanam' jasa kepada Prabowo yang diproyeksikan menjadi Presiden RI berikutnya oleh Joko Widodo.

Oleh karena itu, SETARA Institute menuntut agar Jokowi membatalkan rencana tersebut dan mengurungkan pemberian bintang kehormatan kemiliteran kepada Prabowo. Jika tuntutan ini diabaikan, maka semakin jelas bahwa di akhir periode pemerintahannya, Presiden Joko Widodo lebih cenderung menunjukkan tindakan politik dan pemerintahan yang bertentangan dengan hukum, melawan aspirasi publik, dan mengabaikan hak asasi manusia.

Editor : Hasiholan Siahaan

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network