JAKARTA, iNewsTangsel.id - Fethullah Gülen, seorang ulama kharismatik yang berasal dari desa kecil di Erzurum, Turki, meninggal dunia di Amerika Serikat pada usia 83 tahun. Di balik usia senjanya, tersimpan kisah seorang pemikir yang memiliki mimpi besar bagi dunia melalui pendidikan dan perdamaian. Bagi Gülen, pendidikan bukan hanya transfer pengetahuan, melainkan jalan menuju perubahan sosial yang sesungguhnya.
Kisah hidupnya dimulai dari langkah kecil di tanah kelahirannya. Sebagai putra seorang ulama, Ramiz Gülen, ia dibesarkan dengan latar belakang pendidikan agama yang kuat. Pada usia 14 tahun, ia telah mampu menyampaikan ceramah yang menginspirasi banyak orang. Ketika remaja, ia tidak hanya belajar agama dari kitab, tetapi juga dari realitas masyarakat di sekitarnya—Turki yang berada di persimpangan jalan antara sekularisme dan tradisi keislaman.
Seiring waktu, langkah Gülen semakin besar. Pada usia 18 tahun, ia sudah mendapatkan izin untuk berdakwah. Izmir, kota tempat ia memulai dakwahnya, menjadi saksi lahirnya sebuah gerakan besar yang kelak menyebar ke seluruh dunia. Dari sini, ia mulai menanamkan gagasan pentingnya pendidikan dan dialog, tidak hanya bagi Turki tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Gülen meyakini bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh melawan kebodohan dan ketidakadilan sosial.
Pendidikan Sebagai Kunci Perubahan
Menghadapi realitas Turki yang mayoritas Muslim namun tertinggal secara ekonomi, Gülen menyadari bahwa kebangkitan umat terletak pada ilmu pengetahuan. Ia tidak hanya mengajarkan dogma agama, tetapi juga pentingnya umat Islam menguasai teknologi dan pengetahuan modern agar bisa sejajar dengan dunia Barat. Bagi Gülen, pendidikan bukanlah arena persaingan, melainkan upaya kolektif untuk kebangkitan spiritual dan sosial.
Gülen mengumpamakan pentingnya solidaritas dalam Islam dengan konsep zakat. Ia percaya bahwa zakat yang dikelola bersama akan memberi dampak lebih besar daripada zakat yang diberikan secara individu. Gagasan ini menjadi dasar dari gerakan sosialnya, Hizmet (Pelayanan), di mana setiap individu tidak hanya bekerja untuk diri sendiri, tetapi juga demi kepentingan bersama.
Gerakan yang dipimpin Gülen pun berkembang pesat. Jaringannya meluas, tidak hanya di Turki tetapi juga di berbagai belahan dunia. Sekolah-sekolah, universitas, stasiun radio, televisi, rumah sakit, hingga media cetak menjadi bagian dari perjuangannya. Hingga akhir hayatnya, Gülen terus mendedikasikan hidupnya untuk membangun generasi yang tercerahkan.
Inspirasi bagi Dunia
Pengaruh Gülen tidak hanya terasa di Turki. Di Amerika Serikat, gerakannya diakui secara luas. Presiden Marywood University di Pennsylvania, Ann Munley, mengakui bahwa kontribusi Gülen dalam dunia pendidikan membawa dampak positif bagi masyarakat global. Di Indonesia, mantan presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memuji konsep pendidikan Gülen, yang menekankan pentingnya akhlak. Gus Dur menyoroti bahwa konsep pendidikan ini bisa menjadi solusi bagi krisis moral dalam sistem pendidikan Indonesia.
"Ini sangat penting bagi bangsa Indonesia karena sekolah-sekolah kita sekarang kekurangan moral," ujar Gus Dur suatu ketika, menegaskan bahwa nilai-nilai yang diajarkan Gülen bisa menjadi obat bagi krisis tersebut.
Tidak hanya dalam pendidikan, Gülen juga meninggalkan jejak dalam gerakan sosial yang menekankan pentingnya dialog antarumat beragama. Baginya, perdamaian dunia hanya bisa tercapai melalui dialog dan saling pengertian. Ia sering menekankan bahwa Islam bukan agama yang memerlukan negara untuk bertahan, melainkan agama yang dapat berkembang melalui kekuatan masyarakat sipil.
Meski penuh prestasi, Gülen tetap dikenal sebagai sosok rendah hati. Ia tidak pernah menikah, karena merasa hidupnya dipenuhi oleh tugas yang lebih besar, yakni melayani umat. Baginya, setiap detik dalam hidupnya adalah bentuk pengabdian. Tak heran, pada tahun 2008, Majalah *Foreign Policy* menobatkannya sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia.
Gerakan Hizmet yang dipimpin Gülen kini telah menjadi model bagi banyak gerakan sosial di seluruh dunia. Melalui sekolah-sekolah, lembaga kemanusiaan, dan media, gerakan ini menyebarkan nilai-nilai universal seperti cinta, toleransi, dan hak asasi manusia. Inilah warisan yang akan terus hidup, meskipun tokohnya telah tiada.
Dalam keheningan dan kedamaian di tanah asing, jauh dari kampung halamannya, Fethullah Gülen meninggalkan dunia. Namun, gagasan dan gerakannya akan terus mengalir, melampaui batas negara dan benua, menginspirasi mereka yang percaya bahwa pendidikan dan dialog adalah jalan menuju dunia yang lebih baik.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait