Ia menambahkan bahwa deforestasi besar-besaran sudah terjadi pada masa lalu, terutama antara tahun 1975 hingga 1980-an akibat kebijakan Hak Penguasaan Hutan (HPH). Oleh karena itu, lahan yang sudah tidak berhutan ini harus dioptimalkan penggunaannya.
“Kementerian Kehutanan perlu mengeluarkan lahan seluas 31,8 juta hektare ini dari status kawasan hutan agar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk perkebunan sawit atau tanaman pangan,” kata Prof. Budi.
Dukungan dari Pelaku Industri dan DPR
Rumah Sawit Indonesia (RSI), asosiasi pemangku kepentingan industri sawit nasional, juga mendukung kebijakan Presiden Prabowo. Ketua Umum RSI, Kacuk Sumarto, mengatakan bahwa kemandirian bioenergi, termasuk hingga mandatori B100, perlu menjadi misi pemerintah untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Kacuk sepakat bahwa intensifikasi melalui PSR harus terus dilakukan, didukung riset dan teknologi. Namun, jika produksi minyak sawit masih kurang, ekstensifikasi di lahan terdegradasi adalah solusi terbaik. Ia juga menyarankan penggunaan mixed plantation untuk mempertahankan sebagian fungsi ekologis lahan, seperti menggabungkan sawit dengan tanaman berkayu penghasil pangan.
Di sisi lain, anggota Komisi IV DPR RI Firman Subagyo menegaskan perlunya regulasi khusus terkait perkelapasawitan untuk memastikan target produksi nasional. “Tanpa aturan yang jelas, hutan kita bisa menjadi korban. Regulasi ini penting untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi, pangan, dan ekspor,” ujar Firman.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait