JAKARTA, iNewsTangsel.id - Gelombang kekecewaan dan kemarahan dari elemen buruh transportasi pelabuhan di Jakarta Utara mencapai puncaknya. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI), dan Serikat Buruh Transportasi Perjuangan Indonesia (SBTPI) bersatu suara menyuarakan aspirasi mereka terkait carut-marut pengelolaan di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok. Mereka menilai bahwa Direktur Utama (Dirut) Pelindo dan pihak-pihak terkait lainnya bertanggung jawab penuh atas berbagai persoalan yang tak kunjung usai. Bahkan, desakan agar Menteri BUMN Erick Thohir berani mencopot Dirut Pelindo pun menggema.
Ketua Umum KPBI, Ilhamsyah, dengan tegas menyatakan bahwa pihaknya akan terus berjuang menuntut pembenahan serius dari Pelindo demi keadilan bagi para buruh sopir dan warga Jakarta Utara yang terdampak.
"Merespons berbagai macam persoalan kami dari KPBI, FBTPI, dan SBTPI, akan melanjutkan perjuangan mendesak Pelindo agar segera melakukan pembenahan secara serius berikan keadilan kepada para buruh sopir dan warga Jakarta Utara," ujarnya, Senin (21/4/2025).
Tuntutan utama para buruh adalah pemecatan Dirut Pelindo, Dirut MTI, dan Dirut NPCT1, serta pembongkaran common gate MTI dan penghapusan kebijakan gate pass berbayar yang memberatkan.
Ilhamsyah mengingatkan bahwa Pelabuhan Tanjung Priok memiliki peran vital sebagai gerbang ekonomi nasional. Sebagai salah satu pelabuhan tersibuk di Indonesia dengan sejarah panjang, Tanjung Priok seharusnya menjadi motor penggerak kesejahteraan bagi buruh dan masyarakat sekitar. Namun, kenyataannya, kemajuan pelabuhan yang dikelola oleh Pelindo II justru berbanding terbalik dengan kondisi kesejahteraan para pekerja dan warga di sekitarnya. Berbagai persoalan pelik terus bermunculan akibat pengelolaan yang dinilai kurang baik.
Beragam masalah kronis seperti persoalan ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada buruh, praktik premanisme dan pungutan liar yang merajalela, kemacetan parah yang melumpuhkan aktivitas, hingga indikasi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan perusahaan BUMN tersebut menjadi sorotan utama. Ilhamsyah menuturkan bahwa pada 11 Februari 2025 lalu, FBTPI bahkan terlibat dalam aksi massa bersama Keluarga Besar Sopir Indonesia (KB-SI) untuk merespons berbagai persoalan mendasar di pelabuhan, termasuk biaya masuk (gate pass), pungli, sistem operasi, fasilitas, dan kemacetan.
Puncak kekecewaan buruh dan masyarakat adalah kemacetan "horor" yang baru-baru ini melanda Tanjung Priok dan menjadi perbincangan publik. Ilhamsyah menyebut kemacetan ini sebagai masalah klasik yang tak pernah diselesaikan secara serius oleh Pelindo.
"Masih terang dalam ingatan kita, begitu ramai menjadi perbincangan publik soal kemacetan horor Tanjung Priok," katanya.
Lebih lanjut, Ilhamsyah menyoroti pengelolaan kuota kontainer yang dinilai tidak realistis dan menjadi salah satu penyebab utama kemacetan. Menurutnya, kuota kontainer yang seharusnya 2.500 per hari dipaksakan hingga mencapai 7.000 per hari, mengakibatkan penumpukan dan kemacetan yang tak terhindarkan. Berdasarkan investigasi FBTPI dan keterangan dari anggota Serikat Buruh Transportasi Perjuangan Indonesia (SBTPI) yang bekerja sebagai sopir trailer, kemacetan juga diperparah oleh keterbatasan jumlah alat, sistem yang seringkali mengalami gangguan (error), serta ketidakefektifan penggunaan common gate MTI.
Ilhamsyah menjelaskan lebih detail mengenai ketidakefektifan common gate MTI. "Gate MTI yang merupakan common gate, rencananya akan mengatur mobil yang akan menuju ke NPCT1, NPCT2, dan NPCT3 sedangkan sekarang NPCT2 dan NPCT3 belum beroperasi," ungkapnya.
Selain itu, lokasi common gate MTPI yang berada dekat dengan jalan raya juga dinilai memperparah kemacetan hingga meluber ke jalan arteri utama. Kondisi ini semakin memperkuat tuntutan buruh agar ada perubahan mendasar dalam pengelolaan Pelabuhan Tanjung Priok, termasuk penggantian pucuk pimpinan Pelindo. (*)
Editor : Aris
Artikel Terkait