Seminar ini juga menghadirkan kesaksian langsung dari para saksi kemanusiaan yang baru saja kembali dari Gaza. Prof. Dr. dr. Basuki Supartono, Sp.OT., FICS, MARS., yang menjadi relawan medis di wilayah konflik, menegaskan bahwa penghancuran sistem kesehatan di Gaza adalah tindakan yang disengaja, bukan akibat dari ‘kesalahan target’. Rumah sakit, tenaga medis, hingga ambulans menjadi sasaran sistematis.
Sementara itu, jurnalis Al Jazeera English, Maher Abu Quta, mengungkap sisi lain dari agresi militer: serangan terhadap media. “Mereka membungkam suara kebenaran. Media menjadi target, kantor-kantor dihancurkan, jurnalis dilarang masuk, bahkan keluarga kami pun tidak luput dari ancaman,” katanya tegas.
Kisah paling menyentuh datang dari jurnalis Youmna Al Sayed. Dengan suara yang nyaris pecah, ia menggambarkan ketegangan yang dialaminya sehari-hari di Gaza. “Setiap lima menit, rumahku ditembaki. Aku tahu ini harga yang harus kubayar karena memberitakan kebenaran tentang bangsaku. Tapi aku membayarnya dengan keselamatan keluargaku.”
Suasana haru menyelimuti ruangan, tapi semangat tak padam. Sesi tanya jawab yang dipandu Sita Paprika dari TV One membuka ruang interaksi yang hangat dan reflektif. Di akhir acara, Adara meluncurkan gerakan Satu Rumah Satu Aqsa (SRSA), sebuah inisiatif untuk menanamkan semangat perjuangan Palestina dari dalam rumah tangga Indonesia.
“Perubahan besar selalu dimulai dari rumah. Dari kesadaran kecil yang kita tanamkan kepada keluarga kita,” ujar Maryam menutup seminar.
Bagi peserta, acara ini bukan sekadar seminar. Ia adalah ruang perlawanan, seruan bersama untuk tidak lagi diam di hadapan ketidakadilan. Influencer sekaligus aktivis Palestina, Elsa Masyita, merangkum semuanya dalam satu kalimat penuh makna:
“Yang kita tahu dari berita, itu baru 10% dari kenyataannya. Dan itu sudah cukup untuk menyadarkan kita: diam adalah pengkhianatan.” ujarnya.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait