JAKARTA, iNewsTAngsel.id - Anggota Komisi V DPR, Adian Napitupulu, angkat bicara menyikapi penolakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam melunasi utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh).
Menurut Adian, penolakan ini harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi lebih dalam, khususnya terkait dugaan pembengkakan biaya proyek yang dinilai tidak masuk akal.
“Kalau menurut saya, memang seharusnya dikaji ulang bagaimana bisa terjadi pembengkakan biaya untuk kereta cepat itu,” tegas Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini di Jakarta, Senin (20/10/2025).
Adian lantas membandingkan proyek Whoosh dengan proyek serupa di negara lain, baik yang menggunakan teknologi Cina maupun Jepang. Ia mempertanyakan, mengapa biaya pembangunan kereta cepat di Indonesia bisa jauh lebih mahal.
“Dibandingkan saja harganya, lalu diperiksa kenapa kita bisa lebih mahal. Bagaimana perjanjian awalnya, siapa yang melakukan negosiasi, dan sebagainya,” imbuhnya.
Legislator dari Dapil Jawa Barat V ini memahami bahwa sikap Menteri Keuangan menolak dana APBN memiliki alasan kuat. Namun, hal itu tidak lantas menghapus kewajiban pemerintah untuk melakukan evaluasi total terhadap manajemen proyek Whoosh.
Terkait wacana perpanjangan rute hingga Jakarta–Surabaya, Adian setuju bahwa gagasan kereta cepat itu baik. Hanya saja, ia menekankan bahwa ide tersebut harus diiringi dengan perencanaan dan pelaksanaan yang benar-benar matang.
“Gagasan kereta cepat itu bagus. Problemnya, yang bagus tidak cuma di gagasan saja. Tapi bagaimana cara merealisasikannya juga harus bagus,” ujarnya.
Adian menyoroti bahwa hampir setiap proyek infrastruktur besar di Indonesia kerap diwarnai pembengkakan biaya. Oleh karena itu, jika pada akhirnya APBN harus digunakan, pemerintah harus bisa menjelaskan hasil evaluasi yang telah dilakukan secara transparan.
“Kalau sampai menggunakan APBN, berarti ini kan mengkhianati janji awal. Maka yang harus dipikirkan, siapa yang melakukan negosiasi, berapa harga yang patut, dan apakah perjanjian itu dibuat dengan niat baik,” tegasnya.
Menurutnya, patut atau tidaknya harga dalam kontrak proyek menjadi indikator niat baik sebuah perjanjian. Jika terbukti ada ketidakberesan, Adian menyarankan pemerintah bisa meninjau ulang atau bahkan menegosiasikan kembali perjanjian tersebut. “Tapi problemnya adalah kok biayanya bisa gede banget,” tutupnya.
Editor : Vitrianda Hilba Siregar
Artikel Terkait