get app
inews
Aa Read Next : Fenomena Kotak Kosong di Pilkada Serentak 2024

Rembuk Kebangsaan Senator ProDem Hasilkan 11 Poin Rekomendasi untuk Pemerintah

Kamis, 15 Agustus 2024 | 05:48 WIB
header img
Para peserta Rembuk Kebangsaan Senator ProDem berpose bersama usai pelaksanaan acara, di Hotel Kaisar, Jakarta Selatan

JAKARTA, iNewsTangsel.id - Forum Rembuk Kebangsaan 99 senator aktivis Prodemokrasi (ProDem) bertajuk "Kembali ke Jalan Demokrasi Sejati" yang digelar di Hotel Kaisar, Jakarta Selatan, Selasa (13/8/2024), menghasilkan 11 butir rekomendasi baik untuk pemerintah, masyarakat, dan para pemangku kepentingan (stakeholders) terkait.

Diketahui, terdapat 10 inisiator Rembuk Kebangsaan senator ProDem yakni Sirra Prayuna, Effendi Saman, Paskah Irianto, Arwin Lubis, Ultra Syahbunan, Muchtar Sindang, Standarkiaa Latief, Hakim Hatta, Swary Utami Dewi, dan Desyana.

Sirra Prayuna menuturkan, Rembuk Kebangsaan Senator ProDem dengan tegas menyatakan bahwa berbagai kebijakan dan praktik yang ada dan terjadi saat ini telah bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, yang seharusnya menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, forum Rembuk Kebangsaan Senator ProDem menghasilkan 11 butir rekomendasi aksi.

"Rembuk Kebangsaan Senator ProDem menyimpulkan bahwa negara Indonesia sedang mengalami krisis kedaulatan rakyat. Prinsip utama demokrasi, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, semakin melemah dan tengah disirnakan," ujar Sirra keterangan tertulis di Jakarta, yang diterima iNewsTangsel.id, Rabu malam (14/8/2024).

Selain itu, kata Sirra, kebebasan berpendapat dan kebebasan pers serta hak berorganisasi telah dibatasi oleh pemerintah. Pembatasan ini berujung pada pembungkaman suara rakyat dan penggerusan kemampuan rakyat untuk berpartisipasi dalam proses-proses politik. 

"Kondisi ini membuat keadilan sosial semakin sulit terwujud," ungkapnya.

11 butir rekomendasi forum Rembuk Kebangsaan Senator ProDem yakni, satu, mendesak kepada semua rakyat Indonesia untuk mendata kejahatan seluruh penyelenggara negara selama mereka berkuasa. Dua, mendesak penyelenggara negara untuk menegakkan hukum atau Law Enforcement tanpa pandang bulu (equality before the law). Tiga, pembuat Undang-Undang (UU) dalam hal ini pemerintah dan DPR harus merevisi semua UU yang antirakyat dan antidemokrasi, seperti UU Omnibus, UU KPK, UU Minerba, UU P2SK serta membatalkan RUU Polri.

Empat, Senator ProDem mengusulkan dibentuknya UU Lembaga Kepresidenan agar fungsi lembaga kepresidenan memiliki batasan, prinsip demokrasi dapat ditegakkan, dan sistem meritokrasi dapat dijalankan dalam pengembangan kinerja kenegaraan. Lima, perlunya penyusunan ulang UU terkait politik yang mencakup UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU MD3). Enam, Senator ProDem mendesak untuk menempatkan Kepolisian di bawah Kementerian Dalam Negeri. Tujuh, pemerintah harus mengelola sumber daya alam (SDA) secara berkeadilan dan berkelanjutan sesuai dengan nilai, dasar dan konstitusi dalam berbangsa dan bernegara.

Delapan, pemerintah harus elakukan distribusi pengelolaan SDA yang berbasis pada keadilan, kesejahteraan dan kelestarian lingkungan, serta norma dan nilai sosial budaya. Sembilan, harus melakukan pembentukan hukum dan aturan terkait pengelolaan SDA yang didasarkan pada norma dan nilai berbangsa dan bernegara, serta menerapkan penegakan hukum terkait tanpa pandang bulu. Sepuluh, harus melakukan reviu tata ruang secara nasional untuk memastikan keseimbangan distribusi SDA yang berkeadilan dan berkelanjutan, tanpa melupakan aspek sosial, budaya dan lingkungan. Sebelas, menanamkan pendidikan dan pengembangan karakter dan budaya untuk mencintai dan menghormati lingkungan sejak dini dan menerapkannya di segala bidang kehidupan.

Sirra melanjutkan, tidak dapat dipungkiri bahwa selama 10 tahun terakhir telah terjadi praktik-praktik politik dan tata kelola berbangsa dan bernegara yang ugal-ugalan. Praktik-praktik ini tidak mematuhi kaidah rule of law, di mana seharusnya hukum menjadi panglima. Bagi Senator ProDem, tutur Sirra, supremasi hukum sejatinya menjamin bahwa tidak ada seorang pun, termasuk pemerintah, yang berada di atas hukum.

"Hukum harus digunakan untuk keadilan dengan menghormati hak asasi manusia (HAM) serta ada perlakuan yang sama di depan hukum. Artinya, semua tindakan pemerintah, institusi negara dan warga negara harus tunduk pada hukum. Namun, justru yang terjadi adalah rule by law, di mana hukum digunakan untuk kepentingan kekuasaan," tandas Sirra.

Effendi Saman membeberkan, meskipun Indonesia memiliki sistem hukum yang kompleks dengan hadirnya berbagai institusi penegak hukum, tetapi praktik-praktik pelemahan hukum tetap terjadi. Praktik-praktik ini berdampak pada kehidupan masyarakat yang semakin tidak menentu dan terjadinya pelemahan demokrasi. Seringkali, kata Effendi, ketidakadilan dan pelemahan hukum dipertontonkan melalui produk-produk politik yang sengaja diciptakan, seperti Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan berbagai UU lainnya, yang tidak berpihak kepada rakyat.

"Diberlakukannya presidential-parliamentary threshold juga menyebabkan prinsip check and balance menjadi tidak berfungsi. Akibatnya, terjadi saling sandera politik dan hukum di kalangan elite penguasa," ungkap Effendi.

Bagi Senator ProDem, Effendi berujar, pelemahan hukum tersebut tidak hanya berdampak pada individu atau kelompok yang terlibat langsung, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan pemerintahan secara keseluruhan. Hal ini tentunya semakin memperburuk situasi ketidakpastian hukum, ketidakadilan bagi rakyat, kemunduran demokrasi, dan lemahnya penegakan HAM di Indonesia.

"Semua praktik politik ugal-ugalan ini diyakini oleh Senator ProDEM telah menjadikan negara sebagai pelayan kaum oligarki. Dengan menggunakan pengaruh besar dan kekayaan yang tak terbatas, kelompok ini telah memengaruhi kebijakan publik," bebernya.

Effendi memaparkan, Senator ProDEM menilai legislasi dan proses-proses politik sengaja dirancang demi kepentingan serta keuntungan kelompok tersebut. Para Senator ProDEM juga meyakini bahwa kaum oligarki tersebut telah memperkuat kekuasaan mereka dengan cara-cara manipulatif, seperti melakukan korupsi, menyuap pejabat publik, memanipulasi pemilihan umum (pemilu), maupun memengaruhi media untuk membentuk opini publik.

"Sehingga negara dan pemerintah tidak lagi mendedikasikan diri untuk kepentingan rakyat. Inilah yang menjelaskan mengapa sampai sekarang kesejahteraan rakyat, yang merupakan cita-cita luhur Reformasi, belum tertunaikan. Berbagai struktur demokrasi juga runtuh, perekonomian hancur, hutang luar negeri kian membengkak dan muncul berbagai kerusakan lainnya," tandasnya.

Swary Utami Dewi menekankan, praktik-praktik politik dan tata kelola berbangsa dan bernegara yang ugal-ugalan, yang tidak mematuhi kaidah rule of law, juga terjadi pada pengelolaan sumber daya alam (SDA). Akibatnya bukan hanya menyebabkan SDA semakin tersedot habis, tetapi juga terjadi tsunami ekologi yang semakin tak terbendung. Berbagai bencana ekologi ini telah menjadi problem serius, yang lalu meluas ke berbagai bencana ekonomi, sosial, dan budaya. 

Senator ProDEM meyakini, kata Swary, terlihat fakta nyata bahwa dorongan kapitalisme yang tidak terkendali serta adanya kebijakan dan praktik-praktik ekstraktif bukan semata menyebabkan kerusakan ekosistem berupa pencemaran dalam berbagai bentuk, pemanasan global, dan sebagainya. Tetapi, hal-ihwal tersebut juga telah menimbulkan berbagai dampak lanjutan seperti perubahan iklim, berkurangnya daya dukung lingkungan, terancamnya keanekaragaman hayati, berbagai bencana ekologis, dan lain-lain. 

"Selain itu berbagai persoalan sosial, ekonomi dan budaya muncul, termasuk ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan, perampasan lahan, pengungsi iklim, human trafficking, konflik sosial, masalah gender, kualitas hidup yang buruk, ancaman kelaparan, serta marginalisasi suku, budaya, dan adat istiadat tertentu," ungkap Swary.

Paskah Irianto menambahkan, selama era Reformasi banyak upaya yang telah dilakukan untuk mencegah dan memperbaiki kerusakan lingkungan akibat eksploitasi SDA, termasuk perubahan kebijakan, sistem pengelolaan serta penggunaan teknologi dan pengembangan sumber daya manusia. Hanya saja, dalam 10 tahun terakhir, kepentingan pemodal dan oligarki hampir pasti menjadi paling utama, yang mampu mengalahkan kepentingan rakyat.

"Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pengelolaan SDA dilakukan untuk mengubah dan menyiasati aturan perundang-undangan," kata Irianto.

Dia menekankan, Senator ProDEM berpandangan bahwa praktik-praktik pengelolaan SDA seperti itu harus diakui tidak sesuai dengan Pancasila sebagai dasar negara, terlebih sila ke-2 (Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab) dan sila ke-5 (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia). Kebijakan dan praktik yang sangat kapitalistik dan ekstraktif itu juga jelas melanggar Konstitusi. Padahal, Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 jelas memuat tujuan berbangsa dan bernegara, di antaranya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum.

"(Senator ProDEM menilai) salah urus dan salah kelola ekologi, yang mengutamakan kepentingan kapitalisme dan oligarki, telah menjadi bukti gagalnya negara dalam melindungi segenap bangsa Indonesia. Kesejahteraan umum hanya menjadi kesejahteraan segelintir orang. Maka, kehadiran negara dipertanyakan. Atau, untuk siapa negara hadir?," tegas Irianto.

Editor : Hasiholan Siahaan

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut