JAKARTA, iNewsTangsel.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia telah resmi meraih gelar doktor dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI). Namun, pencapaian gelar S3 yang diraihnya dalam waktu kurang dari dua tahun kini menjadi perbincangan di platform X (sebelumnya Twitter).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia telah resmi meraih gelar doktor dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI). Namun, pencapaian gelar S3 yang diraihnya dalam waktu kurang dari dua tahun kini menjadi perbincangan di platform X (sebelumnya Twitter).
Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) UI Amelita Lusia menjelaskan, Bahlil tercatat sebagai mahasiswa SKSG UI tahun 2022 dan mengambil jalur riset.
"Pak Bahlil tercatat sebagai mahasiswa program doktor pada SKSG UI mulai pada tahun akademik 2022/2023 term 2 hingga 2024/2025 term 1, jalur riset," katanya ketika dikonfirmasi MPI.
Amelita menjelaskan, masa studi mahasiswa program doktor jalur riset itu sesuai dengan Peraturan Rektor UI Nomor 016 Tahun 2026 tentang Penyelenggaraan Program Doktor di UI.
Lantas bagaimana tanggapan Guru Besar UIN Yogyakarta Prof. Dr. Iswandi Syahputra, S.Ag., M.Si, terkait hal ini?
Prof Iswandi Syahputra mengatakan, dalam UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi telah mengukuhkan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam akses pendidikan tinggi.
Guru Besar Ilmu Komunikasi ini menjelaskan bahwa artinya setiap warga negara, tanpa terkecuali, berhak untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan tidak boleh menolak calon mahasiswa asalkan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
"Nah prinsip ini didukung oleh berbagai peraturan turunan yang mengatur mekanisme penerimaan mahasiswa baru, beasiswa, dan fasilitas lainnya untuk menjamin terwujudnya pendidikan tinggi yang berkeadilan," sebutnya dalam keterangan tertulis yang diterima pada Senin, 21 Oktober 2024.
Semangat otonomi, kata dia, telah memberikan keleluasaan bagi perguruan tinggi, khususnya PTNBH, untuk mengembangkan program studi yang inovatif dan relevan dengan perkembangan zaman.
Tren interdisiplin ilmu yang semakin kuat mendorong perguruan tinggi untuk menciptakan program-program studi baru yang menggabungkan berbagai disiplin ilmu. Pendekatan lintas disiplin ini umumnya diinisiasi oleh program pascasarjana yang memiliki fleksibilitas lebih besar dalam merancang kurikulum.
Dia menyontohkan beberapa program tersebut memang menyasar para pengambil kebijakan atau peminat keilmua khusus.
"Misalnya saja di UGM ada Program Studi Ketahanan Nasional, di UI ada Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG). Selain itu dibeberapa perguruan tinggi lain juga memiliki program berbeda. Mungkin saja tergantung dari arah kebijakandan ketersediaan SDM masing-masing pimpinan," paparnya
Terkait persoalan yang mencuat terkait Bahlil yang mendapat gelar doktor dari SKSG UI,sambung dia, sejatinya tidak ada masalah selama semua dilalui sesuai peraturan dan dan dijalankan sesuai ketentuan.
Prof Iswandi Syahputra menyebutkan banyak sekali pejabat negara, politisi, selebritis, pemuka masyarakat dan orang awam yang mendapat gelar melalui jalur dan mekanisme sekolah di program Doktor Pascasarjana seperti ini.
"Hal ini justru sangat bagus sekali karena mendekatkan perguruan tinggi sebagai problem solver masalah kebangsaan melalui pemberian pengetahuan pada mahasiswa doktor yang berasal dari kalangan pengambil kebijakan seperti Bahlil yang juga Menteri ESDM. Selama ini kan ada penilaian Perguruan Tinggi seperti mercu suar, lepas dari dan terpisah dari berbagai problem bangsa," bebernya.
Dia juga meminta kepada semua pihak agar bisa berfikir jernih bahwa kinginan Bahlil untuk mendapatkan gelar doktor dari UI saya pikir bukan sekedar gengsi. Mengapa? sebab jabatannya sebagai menterisudah sangat bergengsi.
"Saya dapat merasakan justru Bahlil ini menjunjung tinggi kejujuran dalam setiap perjuangan kehidupannya. Jika dia mau, mungkin dia bisa saja mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari kampus ternama di dalam atau di luar negeri tanpa harus mengikuti kuliah atau mengerjakan tugas-tugas layaknya mahasiswa regular atau hingga menghadapi ujian terbuka yang persiapannya sangat tidak mudah. Tapi justru Bahlil memilih ikut kuliah S3," jelasnya.
Kritik terhadap Bahlil seringkali berfokus pada aspek formalitas, seperti kapan ia sempat kuliah di tengah kesibukan sebagai Menteri. Sudut pandang seperti ini cenderung negatif dan mengabaikan konteks riset multidisiplin yang seringkali melibatkan pendekatan yang lebih fleksibel.
Perlu dipahami bahwa program doktoral, terutama yang lintas disiplin, seringkali memberikan keleluasaan bagi peserta didik untuk mengkonversi kegiatan akademik lainnya sebagai pengganti mata kuliah tertentu.
Tapi jika dirasakan dari sudut pandang berbeda, Bahlil justru sedang menunjukkan bahwa dia sedang benar-benar serius ingin menimba ilmu di UI seperti seniornya Akbar Tandjung menimba ilmu hingga Doktor di UGM atau SBY menimba ilmu hingga Doktor di UGM.
"Maka di sini saya harus menaruh hormat pada Bahlil karena dia justru memilih ‘jalur lambat’ untuk mendapatkan Doktor dan serius ingin menimba ilmu dan pengetahuan dari Perguruan Tinggi hingga sampai di ujung studi ujian terbuka doktor," ucap Prof Iswandi.
Di bagian lain, kata dia, ada yang menilai mutu disertasinya yang rendah, ini siapa yang menilai? Sebagai dokumen publik, disertasi Bahlil dapat saja dibaca dan dinilai luas oleh siapa saja. Tetapi penilaian yang berimplikasi tentu harus dilakukan oleh expert (ahli).
Termasuk dugaan dan tuduhan tingginya similarity atau plagiasi Turnitin Disertasi Bahlil. Dua hal ini dapat menunjukkan awam yang menilai tidak paham prosedur dan tahapan ujian Doktor atau mereka tidak percaya pada Bahlil. Jika tidak paham prosedur, sebaiknya kuliah Doktor hingga ujian terbuka dulu saja.
Semua disertasi pada Perguruan Tingggi itu harus lolos similarity dengan tingkat presentasi berbeda-beda. Ada yang 20% hingga 35%. Dan itu pasti secara prosedur sudah dilalui melalui semua tahapan ujian hingga sampai pada ujian terbuka.
"Dalam hal ini saya harus percaya dan menghormati mekanisme birokrasi akademik di semua Perguruan Tinggi. Jika tidak percaya pada Bahlil, itu persoalan personal masing-masing. Tentu saja sebagai pejabat yang memiliki karakter agak terbuka dan spontan, tidak semua orang bisa dipaksa menyukai Bahlil," pungkasnya.
.
.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta