Pada saat yang sama, krisis ekonomi dan krisis iklim memperburuk kondisi masyarakat pedesaan. Data BPS 2024 menunjukkan pendapatan perempuan pedesaan terus menurun sejak pandemi, dengan partisipasi pekerja perempuan menurun dari 21,45% menjadi 17,44%. Sementara itu, inflasi harga pangan tetap tinggi, memperburuk kesulitan yang mereka hadapi. Kondisi ini menciptakan kemiskinan yang berujung pada feminisasi migrasi kerja yang eksploitatif.
Solidaritas Perempuan, Aksi!, WALHI, KruHa, dan SBMI menyerukan pemerintah untuk segera menghentikan pemaksaan proyek Food Estate serta kebijakan pembangunan yang merugikan perempuan produsen pangan. Tuntutan mereka kepada pemerintah Indonesia meliputi:
1. Penghentian segera proyek Food Estate yang merusak sumber kehidupan petani dan perempuan pedesaan.
2. Pengalihan anggaran proyek Food Estate untuk memperkuat kedaulatan pangan lokal dan mendukung akses perempuan terhadap sumber daya produktif seperti tanah dan air.
3. Penghormatan terhadap hak-hak perempuan produsen pangan dengan melibatkan mereka dalam setiap pengambilan keputusan terkait penggunaan dan akses lahan.
4. Penegakan hak atas tanah dan penghentian perampasan lahan, terutama di wilayah yang terdampak langsung oleh proyek Food Estate dan proyek iklim lainnya.
5. Pencabutan kebijakan pro-Food Estate yang merupakan solusi palsu, yang menyebabkan feminisasi kemiskinan melalui penghancuran ruang kelola masyarakat dan eksploitasi lingkungan.
Krisis pangan di Indonesia tidak bisa diatasi dengan proyek yang hanya menguntungkan segelintir elit dan investor. Pemerintah harus memprioritaskan keadilan gender dan keberlanjutan ekologi dengan memastikan perempuan—penjaga utama sistem pangan lokal—memiliki akses penuh terhadap sumber daya yang mereka butuhkan untuk mempertahankan kedaulatan pangan.
Editor : Hasiholan Siahaan