JAKARTA, iNewsTangsel.id - Terdapat indikasi kesalahan dalam kasus Mardani H Maming. Para akademisi dan guru besar mencatat banyaknya kekeliruan dan kekhilafan hakim dalam memutus perkara ini.
Kesalahan tersebut makin terlihat dengan adanya keterlibatan makelar hukum, seperti mantan Pejabat Eselon 1 Mahkamah Agung, Zarof Ricar. Makelar seperti Zarof tidak hanya bekerja untuk membebaskan terdakwa, tetapi juga bisa dimanfaatkan pihak tertentu untuk mempidanakan seseorang melalui rekayasa kasus meski bukti tak mencukupi.
Tindakan Zarof ini adalah bagian kecil dari permasalahan mafia peradilan yang sudah lama ada di Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Mahfud Md dalam pernyataannya di kanal YouTube miliknya, di mana ia mendesak Jaksa Agung menelusuri kasus-kasus yang pernah ditangani Zarof.
"Seharusnya perkara ini ditelusuri, kejaksaan perlu membuka kembali perkaranya. Bila perlu, disidangkan ulang agar tak ada korban yang dihukum sebagai kambing hitam," ujar Mahfud.
Ia juga menyarankan agar korban yang menjadi kambing hitam dalam perkara yang terkait kasus ini dapat mengajukan Peninjauan Kembali.
Berdasarkan pandangan Mahfud, kasus Mardani H Maming, terdakwa dalam kasus gratifikasi dan suap saat menjadi Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, merupakan salah satu yang patut dikaji ulang.
Menurut Prof. Yos Johan Utama, guru besar Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP), putusan hakim yang memvonis Mardani H Maming penuh kekeliruan. Mantan Rektor UNDIP ini mengkritisi pasal yang dijadikan dasar dalam mempidanakan Mardani.
Ia menjelaskan bahwa keputusan yang diambil Mardani terkait pemindahan IUP sah secara hukum administrasi dan tidak pernah dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang memiliki kewenangan dalam ranah administrasi.
Ditambah lagi, putusan Pengadilan Niaga yang telah berkekuatan hukum tetap menyatakan bahwa hal tersebut merupakan hubungan bisnis murni, bukan persekongkolan terselubung.
“Pengadilan Tipikor, sebagai pengadilan pidana, tak berwenang menilai sah atau tidaknya keputusan administrasi ini. Karena itu, tidak ada pelanggaran hukum administrasi yang bisa dijadikan dasar pidana,” tegas Prof. Yos dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (2/11/2024).
Lebih lanjut, ia menilai bahwa hakim keliru dalam menerapkan Pasal 97 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang sebenarnya ditujukan hanya bagi pemegang IUP atau IUPK, bukan bagi penerbit izin seperti Mardani.
Selain itu, IUP yang diterbitkan telah memperoleh sertifikat clear and clean (CNC) dari Kementerian ESDM selama 11 tahun, dan peralihan IUP tersebut sudah mendapatkan rekomendasi dari Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Tanah Bumbu serta didukung oleh pejabat terkait.
Prof. Yos menjelaskan, dalam kasus ini Mardani sebagai Bupati berwenang mengeluarkan IUP sesuai Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan ia bukanlah pihak pemegang izin.
Dengan demikian, ia berpendapat bahwa putusan hakim seharusnya dikaji ulang karena Mardani tidak seharusnya dikenakan pidana berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Pandangan ini sejalan dengan anotasi Fakultas Hukum UNDIP Semarang pada 30 Oktober 2024. Kajian dilakukan oleh beberapa akademisi, termasuk Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum dari sisi Hukum Tata Negara, Prof. Yos Johan Utama dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara dan pidana, serta Prof. Dr. Yunanto dan Dr. Eri Agus Priyono dari perspektif hukum perdata.
Menurut kajian tersebut, majelis hakim keliru dalam menafsirkan dan mengkonstruksi transaksi perdata antara perusahaan-perusahaan yang terlibat, seperti PT Prolindo Cipta Nusantara dan PT Angsana Terminal Utama, sebagai bentuk kamuflase suap.
Prof. Dr. Retno Saraswati menegaskan bahwa putusan hakim terhadap Mardani tampak terburu-buru dan tidak didasarkan pada fakta yang akurat.
Kajian dari para akademisi UNDIP ini membawa perspektif baru di tengah kondisi hukum di Indonesia. Kasus Zarof semakin menegaskan adanya praktik makelar yang dapat digunakan untuk mempidanakan orang yang sebenarnya tidak bersalah, seperti yang terjadi pada kasus Mardani H Maming. Hal ini memperkuat perlunya Peninjauan Kembali oleh Hakim Agung.
Editor : Hasiholan Siahaan