JAKARTA, iNewsTangsel.id - Sejak pertama kali berdiri pada 24 Oktober 1950, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah menjadi pilar utama dalam dunia kedokteran di Tanah Air. Dari waktu ke waktu, organisasi ini menjadi garda terdepan dalam menjaga standar profesi medis, mengadvokasi kepentingan dokter, serta berperan aktif dalam kebijakan kesehatan nasional. Namun, perjalanan panjang itu tidak lepas dari tantangan. Kini, IDI dihadapkan pada dilema kepemimpinan yang menuntut perubahan mendasar. Wacana mengenai sistem kepemimpinan kolektif kolegial semakin menguat jelang Muktamar IDI 2025, menawarkan sebuah lompatan menuju tata kelola yang lebih demokratis, akuntabel, dan inklusif.
Mungkin banyak yang bertanya, mengapa IDI harus berubah? Kenapa model kepemimpinan kolektif kolegial menjadi pilihan yang lebih baik? Seiring berkembangnya zaman, dinamika dalam dunia kesehatan semakin kompleks. Transformasi digital, globalisasi kebijakan kesehatan, hingga ekspektasi publik yang terus meningkat terhadap layanan medis menuntut organisasi profesi seperti IDI untuk lebih responsif. Keputusan strategis yang menyangkut masa depan profesi kedokteran tidak lagi bisa digantungkan pada satu sosok pemimpin saja. Dibutuhkan sistem yang lebih terbuka, kolaboratif, dan mampu menyerap aspirasi dari berbagai pihak.
Dinamika perubahan ini semakin krusial setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menghapus posisi dan peran IDI yang sebelumnya termuat dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004. Ini menjadi titik balik penting dalam perkembangan sejarah IDI, karena secara struktural, IDI kini tidak lagi memiliki dasar hukum yang sama dalam regulasi nasional terkait profesi kedokteran seperti termaktub dalam produk Undang-Undang sebelumnya. Dalam perjalanannya, berbagai problematika muncul, menuntut penyesuaian agar eksistensi IDI sebagai organisasi profesi kedokteran tetap dapat berlangsung. Menyadari urgensi ini, Rakernas IDI III Tahun 2023 yang diselenggarakan di Kendari merekomendasikan pembentukan panitia kerja untuk meninjau AD/ART, dengan salah satu agenda utama adalah arah menuju perubahan model kepemimpinan menjadi kolektif kolegial.
Bukan rahasia lagi bahwa dalam sistem kepemimpinan saat ini, keputusan sering kali bergantung pada beberapa individu saja. Hal ini memicu ketidakpuasan di kalangan anggota yang merasa kurang terwakili. Dengan sistem kolektif kolegial, IDI dapat mengedepankan mekanisme musyawarah, di mana setiap keputusan strategis didiskusikan dan diputuskan bersama oleh presidium. Hal ini bukan hanya mencerminkan nilai demokrasi dalam organisasi, tetapi juga memperkuat independensi IDI dari intervensi eksternal yang selama ini menjadi ancaman nyata bagi profesi kedokteran.
Bayangkan sebuah organisasi di mana setiap suara memiliki bobot yang sama, di mana setiap kebijakan lahir dari diskusi mendalam dan bukan sekadar instruksi satu orang. Sistem ini telah diterapkan di berbagai organisasi profesi di dunia. World Medical Association (WMA), British Medical Association (BMA), hingga American Medical Association (AMA) telah lebih dulu menerapkannya. Di Indonesia sendiri, model presidium telah terbukti efektif di berbagai organisasi profesi seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Persyarikatan Muhammadiyah, dan Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Mereka membangun struktur kepemimpinan berbasis kolektivitas yang tidak hanya memperkuat soliditas internal, tetapi juga meningkatkan efektivitas advokasi kebijakan.
Namun, tentu ada tantangan yang harus dihadapi. Model ini bukan berarti tanpa risiko. Potensi konflik internal bisa muncul akibat perbedaan pandangan, dan proses pengambilan keputusan mungkin membutuhkan waktu lebih lama. Oleh karena itu, sistem check and balance harus diperkuat. Salah satu langkah strategis yang bisa dilakukan adalah membentuk Komite Arbitrase yang berfungsi sebagai penengah dalam situasi-situasi krusial. Dengan demikian, perbedaan pendapat dapat dikelola dengan lebih profesional, tanpa menghambat kinerja organisasi.
Tak hanya itu, era digital juga bisa dimanfaatkan untuk memperlancar transisi ini. Bayangkan sebuah platform digital yang memungkinkan setiap anggota untuk memberikan suara mereka, mengakses informasi keputusan organisasi secara real-time, dan terlibat dalam forum diskusi tanpa harus hadir secara fisik. Platform digital yang dikembangkan oleh IDI bisa menjadi inovasi besar, memungkinkan pemungutan suara daring, diskusi terbuka, hingga dokumentasi keputusan yang bisa diakses semua anggota. Dengan langkah ini, IDI bisa menjadi lebih modern dan responsif terhadap tuntutan zaman.
Perubahan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Justru, perubahan adalah pintu menuju masa depan yang lebih baik. Model kepemimpinan kolektif kolegial bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan. Model ini membuka ruang bagi lebih banyak suara untuk didengar, mengurangi ketergantungan pada individu tertentu, dan memperkuat posisi IDI sebagai organisasi profesi yang independen dan inklusif. Dengan pendekatan ini, IDI tidak hanya bisa menjaga kekompakan internal, tetapi juga lebih efektif dalam memperjuangkan kebijakan kesehatan yang berpihak pada kepentingan dokter dan masyarakat.
Menurut Northouse (2019), "Kepemimpinan kolektif bukan hanya soal membagi tanggung jawab, tetapi juga menciptakan struktur yang mampu menyerap keberagaman pemikiran dan memperkuat legitimasi kebijakan." Muktamar IDI 2025 menjadi momentum penting untuk merealisasikan perubahan ini. Dengan mengadopsi model kolektif kolegial, IDI tidak hanya akan memperkuat solidaritas internalnya, tetapi juga semakin mampu mengadvokasi kebijakan kesehatan yang berpihak pada kepentingan publik. Saatnya IDI melangkah menuju kepemimpinan yang lebih demokratis dan berorientasi pada kemajuan bersama.
Saat ini, kita berada di persimpangan jalan. Muktamar IDI 2025 akan menjadi momentum krusial untuk menentukan arah organisasi ke depan. Apakah IDI akan tetap bertahan dengan model kepemimpinan yang ada atau memilih bertransformasi menjadi organisasi yang lebih demokratis dan kolegial? Waktunya telah tiba bagi IDI untuk menatap masa depan dengan visi yang lebih terbuka, menempatkan kepentingan kolektif di atas kepentingan individu, dan membawa profesi kedokteran Indonesia ke era yang lebih maju.
Penulis: dr. Taufan Tuarita, SekjenPP Perhimpunan Dokter Umum Indonesia.
Editor : Hasiholan Siahaan