get app
inews
Aa Text
Read Next : Bukan Nostalgia, Fakta Objektif! Kontribusi Soeharto Jadi Dasar Pemberian Gelar Pahlawan

Guru Besar UNJ: Gelar Pahlawan Bentuk Penghormatan Negara, Bukan Ungkit Dendam Politik

Sabtu, 08 November 2025 | 16:03 WIB
header img
Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof. Dr. Abdul Haris Fatgehipon. Foto: Dok

JAKARTA, iNewsTangsel.id -  Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof. Dr. Abdul Haris Fatgehipon, menilai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada para mantan presiden Republik Indonesia seharusnya dipandang sebagai bentuk penghormatan negara kepada para pemimpin bangsa yang telah berjasa, bukan sebagai arena untuk memperpanjang luka sejarah atau menumbuhkan dendam politik.

Menurut Abdul Haris, secara spiritual almarhum Presiden Soeharto tidak membutuhkan gelar pahlawan nasional, karena doa dari bangsa Indonesia jauh lebih berarti. Namun, secara kenegaraan dan moral kebangsaan, gelar tersebut merupakan simbol pengakuan terhadap peran penting setiap pemimpin dalam perjalanan panjang republik ini.

“Secara spiritual, Soeharto tidak membutuhkan gelar Pahlawan Nasional. Yang beliau butuhkan adalah doa agar diampuni segala khilafnya. Tetapi, sebagai bangsa yang beradab, kita wajib menghormati jasa para pemimpin terdahulu dengan cara yang layak dan terhormat, salah satunya melalui gelar kenegaraan,” ujar Abdul Haris, Sabtu (8/11/2025).

Abdul Haris menegaskan, sejarah tidak dapat dihapuskan hanya karena perbedaan politik. Soeharto, kata dia, tetap memiliki tempat penting dalam perjalanan bangsa, mulai dari masa perjuangan hingga pembangunan nasional.

“Soeharto memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan. Ia turut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang memaksa Belanda menandatangani Perjanjian Roem–Roijen, hingga akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar 1949,” terangnya.

Lanjutnya, sebagai Panglima Mandala, Soeharto juga memimpin operasi pembebasan Irian Barat dan kemudian tampil di saat genting ketika bangsa ini terancam perpecahan akibat G30S/PKI.

“Ulama besar KH Prof. M. Quraish Shihab pernah berkata, andaikan Soeharto tidak mengambil langkah cepat melawan G30S/PKI, mungkin suara azan masjid dan lonceng gereja tak lagi terdengar di negeri ini,” ujarnya. 

Lebih jauh, Abdul Haris menilai kepemimpinan Soeharto tidak hanya menyelamatkan stabilitas politik, tetapi juga mengangkat ekonomi nasional dari keterpurukan.

“Setelah masa krisis ekonomi di era Presiden Soekarno, Soeharto membawa Indonesia ke arah stabilitas dengan program Repelita. Perekonomian tumbuh, dan bangsa ini bahkan mencapai swasembada pangan,” jelasnya.

Ia juga menyinggung kebijakan pembangunan di sektor sosial seperti Sekolah Dasar Inpres dan Puskesmas, yang memperluas akses pendidikan dan kesehatan masyarakat. 

"Selain itu, Soeharto dikenal sebagai motor di balik kemajuan industri strategis nasional seperti IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) sekarang PTDI, PAL dll", jelasnya. 

Terkait kebijakan keras di masa Orde Baru seperti penembakan misterius (Petrus), Abdul Haris mengajak masyarakat menilai dalam konteks zaman dan tantangan saat itu.

“Membangun ekonomi memerlukan kestabilan politik dan keamanan. Tanpa itu, investor tidak akan datang. Kebijakan yang keras pada masa Orde Baru lahir dari situasi darurat nasional. Soeharto bersikap kesatria karena tidak pernah menutupinya,” tegasnya.

Abdul Haris juga menyerukan agar para elite dan generasi bangsa meneladani kebesaran jiwa para tokoh terdahulu, bukan terjebak dalam romantika luka masa lalu.

“Peringatan Hari Pahlawan dan pemberian gelar Pahlawan Nasional sebaiknya menjadi momen rekonsiliasi nasional, bukan arena dendam. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memaafkan tanpa melupakan sejarah,” ujarnya.

Ia mencontohkan sikap Buya Hamka, yang meski pernah dipenjara oleh Presiden Soekarno, tetap menjadi imam salat jenazah bagi sang proklamator saat wafat.

“Buya Hamka tidak menyimpan dendam. Bahkan beliau bersyukur, karena dalam masa tahanan itu beliau menulis karya besar Tafsir Al-Azhar. Itu contoh keikhlasan dan kedewasaan spiritual seorang ulama,” tutur Abdul Haris.

Ia pun menekankan, setiap presiden memiliki jasa dan kekeliruan masing-masing, namun semuanya telah berperan dalam menjaga keberlanjutan negara.

“Setiap pemimpin memiliki bab sejarahnya sendiri. Mengakui jasa mereka bukan berarti meniadakan kritik, melainkan menegaskan kematangan bangsa dalam menghargai perjalanan sejarahnya,” pungkasnya.

Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut