Gen Z Hadapi Pengaruh Negatif, Orang Tua Perlu Lakukan Positive Parenting Sesuai Anjuran Kak Syarief
BEKASI, iNewsTangsel.id - Generasi Z yang lebih dikenal sebagai digital native yang lahir pada 1995 sampai 2010 atau berusia 12 sampai 28 tahun. Di Indonesia pada 2010 jumlah generasi ini sebanyak 68 juta lebih orang atau dua kali lipat Generasi X yang lahir 1965 sampai 1976.
Generasi Z merupakan generasi paska milenial yang memiliki pengetahuan luas karena kemudahan akses informasi dan motivasi tinggi.
Selain itu mampu melakukan berbagai aktivitas dalam satu waktu atau multitasking, cenderung lebih toleran karena terbuka terhadap segala sesuatu, tidak cepat berpuas diri dan terus berinovasi.
Namun generasi Z atau generasi stroberi, memiliki emosi yang labil, cenderung individualistis dan egosentris, tidak fokus dalam satu hal, kurang menghargai proses atau lebih tertarik kepada hal-hal yang instan, lebih memprioritaskan materi atau uang, dan kecanduan gadget.
Rhenald Kasali dalam bukunya yang berjudul Strawberry Generation, menyebutkan generasi ini merupakan generasi yang memiliki banyak ide cemerlang dan kreativitas yang tinggi. Namun, mereka mudah sekali menyerah, mudah sakit hati, lamban, dan pesimis terhadap masa depan.
Istilah generasi stroberi kali pertama muncul di Taiwan untuk menggambarkan generasi muda yang lahir setelah tahun 1981 dan mengalami kesulitan dalam menghadapi tekanan sosial ,tidak seperti orangtuanya semasa muda.
Praktisi psikologi remaja dan konsultan kepengasuhan pesantren, Syarief Ahmad mengemukakan generasi stroberi diserang oleh berbagai pengaruh perilaku negatif. Hal yang dimaksud seperti kecanduan rokok/vape, perilaku penyalahgunaan narkoba, gangster, dan digital addict.
Kemudian, kecanduan mengakses situs porno, pacaran, bunuh diri, tawuran atau perkelahian, hingga perilaku seks yang menyimpang.
“Untuk itu orang tua perlu berperan dalam mengasuh remajanya dengan positive parenting," katanya.
Prinsip pengasuhan positif mengajarkan anak disiplin dengan tidak memberi hukuman dan menghindari kekerasan. Orang tua justru perlu mengedepankan konsekuensi agar anak memiliki kesadaran dan bertanggung jawab terhadap perilakunya.
“Positif parenting juga perlu melibatkan orangtua dalam terlibat dialog dengan remajanya dan lebih banyak mendengar daripada menghakimi,” ucap Syarief Ahmad.
Kak Syarief, panggilan akrab Syarief Ahmad, mulai aktif berinteraksi dengan remaja sejak 2009 melalui Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH). Yayasan ini dipimpin oleh Elly Risman yang merupakan psikolog senior dan trainer parenting keluarga di Indonesia. Di sana Syarief Ahmad mulai membekali diri dengan ilmu dan praktek di lapangan mengenai isu parenting, perlindungan anak, bahaya pornografi, dan ketahanan keluarga.
Dia adalah lulusan psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang tidak cepat berpuas diri dalam bidang parenting. Dirinya sebagai konsultan dan trainer pengasuhan di boarding school di Indonesia sejak 2018 bersama Islamic Leadership Learning Center (IILC).
Syarief Ahmad juga diamanahkan sebagai pimpinan di Biro Konseling dan Psikologi Al Wafi Islamic Boarding School.
Dia berharap banyak generasi penerus bangsa yang cerdas, hebat, berakhlak baik, berhati nurani, dan memiliki religiusitas yang dapat meneladani dan mewariskan generasi berikutnya menjadi yang lebih baik.
Sebuah buku lifeskill untuk remaja telah ditulisnya yakni Surviving Teen Stress yang dirilis tahun ini berisi edukasi preventif untuk remaja.
Dari hal ini mereka diinginkan siap dan mampu menghadapi stres pada masa depan, tidak mudah depresi, frustasi, bunuh diri dan dapat terhindar dari perilaku buruk remaja.
Pertanyaan seputar psikologis, mental, dan emosi anak remaja dapat menghubungi Syarief Ahmad setiap Rabu dan Jumat dengan perjanjian di Islamic Leadership Learning Center (ILLC), Grand Galaxy City, Jalan Boulevard Raya Blok RGF nomor 16, RT 007 RW.018, Jaka Setia, Bekasi, Jawa Barat.
Editor : Mochamad Ade Maulidin
Artikel Terkait