JAKARTA, iNews - Isu pembentukan badan khusus penerimaan negara kembali mencuat dalam debat calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka dengan calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD, pada Jumat (22/12/2023). Gagasan ini disebut bisa meningkatkan pendapatan negara. Benarkah?
Akademisi yang juga Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya Malang, Hendi Subandi mengatakan, wacana ini sebenarnya bukan hal baru. Rencana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadi badan otonom langsung di bawah presiden sudah menjadi pembahasan beberapa tahun lalu. Menurut dia, pajak sangat berkontribusi pada pembangunan negara dengan persentase lebih dari 70 persen. Namun perlu ada pengawasan terkait hal itu.
"Dengan kontribusi yang besar ini, tidak bisa lagi (DJP) tergantung di kementerian atau lembaga, karena akan repot pergerakannya. DJP bisa berada di luar kementerian tapi harus ada majelis atau pihak yang mengontrol sebagai pengawas," kata Hendi dalam keterangannya, Kamis (28/12/2023).
Menurutnya, saat ini efektivitas DJP sudah berjalan baik dalam meningkatkan pendapatan negara. Dalam 10 tahun terakhir, angka penerimaan pajak negara naik sebelum adanya pandemik COVID-19.
Hendi memaparkan, pada 2014 penerimaan negara mencapai Rp985,1 triliun atau 91,9% dari target Rp1.072 triliun. Tahun 2015 realisasi penerimaan Rp1.055 triliun (81,5% dari target), 2016 capai Rp1.283 triliun (83,4%), 2017 capai Rp1.147 triliun (89,4%), 2018 capai Rp1.315,9 triliun (92%), 2019 capai Rp1.332,1 triliun (84,4%).
Sedangkan pada 2020 di saat pandemik mulai menyerang, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp1.070 triliun (89,3%), pada 2021 capai Rp1.278,6 dan pada 2022 mencapai Rp1.716,8 triliun.
Meski capaian ini terbilang baik, kinerja DJP sebenarnya bisa bergerak lebih cepat ketika berdiri sendiri. Saat ini, karena DJP berada di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu), ketika ada kebutuhan seperti penambahan sumber daya manusia (SDM), anggaran atau birokrasi lainnya tidak bisa langsung dilaksanakan.
Padahal, kata dia, DJP memiliki tugas berat untuk menjaga penerimaan negara tetap tercapai sehingga mampu mencukupi APBN setiap tahunnya.
"Maka harapannya memang bisa dipisah agar lebih lincah," ujar Hendi.
Khusus peleburan dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), Hendi menyebut bahwa hal ini bisa dilakukan karena direktorat ini kinerjanya mirip dengan DJP. Artinya, ketua ditjen tersebut sebenarnya bisa berada dalam satu rumah, baik itu di Badan Penerimaan Negara atau badan apapun yang dibentuk pemerintah.
Tantangan untuk mewujudkan kebijakan ini adalah peleburan harus bisa dibuat lebih lembut, karena biasanya peleburan akan menimbulkan friksi. Misalnya, dalam pembagian kinerja, komposisi SDM, aset, atau tugas pokok masing-masing harus bisa dijabarkan secara detail. Ketika semua hal rumit ini terurai dengan baik, maka tata kelola penerimaan negara lewat DJP dan DJBC dipastikan bisa lebih optimal.
Persoalan non-teknis untuk mendirikan badan penerimaan pajak, atau badan apapun yang meleburkan antara DJP dengan DJBC, adalah komitmen politik. Hendi berpesan, jangan sampai ada marwah kementerian yang tercoreng karena kebijakan ini.
"Karena isu pajak ini selalu sensitif, maka harus ada keputusan politik yang tepat sehingga penerimaan negara bisa meningkat," pungkasnya.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait