JAKARTA, iNewsTangsel.id - Komitmen keberlanjutan Net Zero Emission (NZE) pertama kali muncul saat Conference of the Parties (COP 21) pada tahun 2015, menghasilkan Paris Agreement yang disepakati oleh 197 negara, termasuk Indonesia.
Kesepakatan ini bertujuan menjaga kenaikan temperatur rata-rata global hingga maksimal 2°C dibandingkan dengan masa pra-industri, dan berupaya agar kenaikannya tidak melebihi 1,5°C. Untuk menghadapi perubahan iklim ekstrem, dunia sepakat untuk mencapai NZE pada tahun 2050, sementara Indonesia menargetkan tahun 2060.
International Association of Business Communicators (IABC) - Indonesia Chapter, sebagai bagian dari IABC yang berbasis di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, memberikan perhatian khusus pada perkembangan upaya keberlanjutan di Indonesia, termasuk dalam pilar Environment, Social, and Governance (ESG). Mereka berfokus pada peran komunikasi, hubungan masyarakat, dan urusan publik dalam menyuarakan aksi-aksi keberlanjutan.
Elvera N. Makki, MBA, ABC, SCMP, Presiden IABC - Indonesia Chapter, menyatakan, “IABC Indonesia memperhatikan keberlanjutan, termasuk ESG di Indonesia, karena dampaknya yang besar terhadap kehidupan manusia saat ini dan di masa depan.
Peran komunikasi sangat penting untuk menyuarakan aksi-aksi keberlanjutan dan meningkatkan kesadaran masyarakat serta korporasi lintas sektor untuk bersama-sama berperan aktif dalam mencapai target Net Zero Emission di Indonesia pada tahun 2060. Oleh karena itu, kami menyelenggarakan forum ini sebagai diskusi rutin dengan para pemimpin dan profesional keberlanjutan, agar sebagai praktisi komunikasi, kami memahami dan dapat menyebarkan informasi penting terkait topik ini.”
IABC - Indonesia Chapter mengadakan webinar "IABC Power Brain Communication Webinar 2024: Sustainability and ESG Series" dengan tema "Net Zero Emission's Targets and Updates". Webinar ini menghadirkan narasumber dari berbagai sektor industri, yaitu Warsono, Executive Vice President Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan, PT PLN (Persero); Nurdiana Darus, Head of Sustainability & Corporate Affairs, PT Unilever Indonesia, Tbk; dan Febron Siregar, Sales Director Indonesia, Wärtsilä Energy. Webinar ini dimoderatori oleh Elvera N. Makki, Communications & Social Impact Advisor VMCS Public Relations, dan juga Presiden IABC Indonesia.
Dalam diskusi yang diselenggarakan secara daring, Warsono menjelaskan strategi transisi energi dari sektor ketenagalistrikan yang berkelanjutan dan berkeadilan, “Setiap negara memiliki strategi berbeda dalam transisi energi, tergantung dari kondisi masing-masing negara. Di Indonesia, kami memiliki empat pilar teknologi untuk percepatan pengembangan energi terbarukan dengan skenario pengurangan bertahap penggunaan batubara.” Pilar pertama adalah target penambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 75% dan energi berbasis gas 25% pada tahun 2040.
PLN juga mengupayakan super grid sebagai pilar kedua, dimana jaringan transmisi dijadikan enabler untuk mengatasi ketidakcocokan antara potensi energi baru dan terbarukan dengan pusat permintaan. Pilar ketiga menitikberatkan pada penggunaan masif tenaga surya dan angin melalui pembangkit yang fleksibel dan smart grid. Pilar terakhir adalah teknologi hijau yang memaksimalkan penggunaan penyimpanan, CCS/CCUS, Co-firing Hidrogen, Amonia, dan energi baru seperti nuklir.
Nurdiana Darus dari PT Unilever Indonesia menyatakan, “Unilever berkomitmen mencapai Net Zero Emission pada tahun 2039, dengan aksi nyata dan terukur dalam sembilan area di sepanjang rantai bisnis perusahaan hingga tahun 2030, termasuk pemasok, bahan baku, desain kemasan, penyimpanan, hingga logistik.”
Nurdiana memaparkan target keberlanjutan di scope 1, 2, dan 3, yang berfokus pada pengurangan emisi dan dekarbonisasi, “Ambisi Unilever menuju Net Zero Emission terangkum dalam Climate Transition Action Plan (CTAP). Pada periode 2025-2023, kami telah mengurangi 89.45% emisi karbon pada operasionalisasi, instalasi panel surya di beberapa pabrik pada Agustus 2023 dengan kapasitas 2,5MWp, mengurangi emisi CO2 hingga 1.500 ton per tahun, setara dengan menanam 20.000 pohon. Instalasi ini terbesar di kawasan Jababeka.”
Febron Siregar, Sales Director Wärtsilä Energy menyampaikan, “Wärtsilä memiliki target dekarbonisasi pada tahun 2030. Sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah energi terbarukan, maka dibutuhkan solusi penyeimbang yang fleksibel untuk memastikan stabilitas dan keandalan dari energi terbarukan tersebut, yang kapasitasnya diharapkan meningkat 8x pada tahun 2050.”
Tambahnya, “Untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2050, maka energi terbarukan harus menyediakan 89% pasokan ketenagalistrikan dunia. Memilih teknologi yang fleksibel dan tepat untuk sistem tenaga sangat penting untuk menjaga pasokan listrik yang stabil dan dapat diandalkan.Wärtsilä sendiri baru-baru ini meluncurkan pembangkit listrik tenaga hidrogen berskala besar pertama di dunia, yang menjawab kebutuhan dekabornisasi di sektor energi.”
Ketiga narasumber sepakat bahwa untuk mencapat target Net Zero Emission, dibutuhkan kerjasama, kolaborasi, dan keselarasan lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan, “Komunikasi memegang peranan kunci agar tujuan keberlanjutan dapat tercapai sesuai waktu yang dicanangkan, sehingga IABC Indonesia turut mendukung melalui diskusi dan dialog yang diadakan secara rutin dalam forum-forum kami, “ tutup Elvera Makki, dalam siaran tertulisnya pada Selasa (30/7/2024).
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait