JAKARTA, iNewsTangsel.id - "Kita (Indonesia) membutuhkan 281 miliar dolar AS (setara 3,5 triliun rupiah) hingga 2030 untuk melakukan dekarbonisasi ekonomi secara menyeluruh. Apakah kita punya uangnya? Tidak!" ujar Arif Havas Oegroseno, Duta Besar Indonesia untuk Republik Federal Jerman, saat menyampaikan tantangan dalam pelaksanaan pembangunan rendah karbon di Indonesia pada sesi Ministerial Talk di Universitas Göttingen.
Sejarah mencatat, belum ada negara yang berhasil mengurangi emisi sambil mencapai status ekonomi maju. Namun, tantangan inilah yang dihadapi negara berkembang seperti Indonesia. Fakta ini menjadi dasar pemilihan tema “Transformation for Low-Carbon Development (LCD)” pada ICONIC (International Conference of Integrated Intellectual Community) 2024 yang diadakan di Göttingen, Jerman, dari 4 hingga 6 September 2024.
Dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/9/2034), acara dua tahunan ini diprakarsai oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Jerman (PPI Jerman), organisasi yang aktif dalam bidang pendidikan, sosial, budaya, dan politik non-partisan. Saat ini, ada sekitar 11.000 pelajar Indonesia di Jerman yang menempuh studi S1, S2, S3, dan vokasi di berbagai bidang. Banyak program studi di Jerman yang menekankan unsur keberlanjutan dan rendah karbon, membuat tema ini semakin relevan bagi mahasiswa Indonesia di sana.
ICONIC 2024 terdiri dari enam sesi pleno, empat konferensi ilmiah, career booth, dan sesi Meet the Industry. Acara dibuka dengan sambutan dan tarian “Topeng Kelana” dari Cirebon, dilanjutkan dengan Ministerial Talk yang membahas pembiayaan LCD di Indonesia serta pentingnya kerja sama antara Indonesia dan Jerman dalam pembangunan rendah karbon. Laksmi Dhewanthi menyampaikan kesimpulan, “Kami membutuhkan dukungan dari semua pihak untuk membangun tata kelola yang baik demi mewujudkan pembangunan rendah karbon.”
Pada hari kedua, empat sesi pleno membahas dekarbonisasi dari perspektif perusahaan dan pemangku kepentingan di berbagai bidang. Candra Sutomo, COO Energy Academy Indonesia (ECADIN), menyatakan, “CCS (Carbon Capture Storage) adalah bagian dari strategi mencapai emisi nol bersih. Tanpa CCS, biaya untuk mencegah kenaikan temperatur dunia akan lebih dari dua kali lipat." Perusahaan seperti TREEO dan Germanwatch e.V. juga memaparkan cara mereka mendukung dekarbonisasi.
Konferensi ICONIC 2024 menampilkan 54 abstrak ilmiah yang lolos proses peer-review dan dibagi dalam empat bidang studi: inovasi teknologi untuk LCD, implikasi ekonomi dan sosial LCD, ekonomi politik LCD dalam dinamika Global North dan Global South, serta LCD dalam lingkungan terbangun.
Pada sesi pleno lain, Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), menyoroti pentingnya peran masyarakat adat dalam menjaga hutan dan biodiversitas dunia. "Masyarakat adat memiliki ikatan kuat dengan hutan, sehingga mereka berpotensi besar dalam menyelamatkan hutan," ujarnya. Ia juga mengkritik pembangunan Ibu Kota Nusantara yang dinilai merugikan masyarakat adat.
Sesi “Meet the Industry” menutup rangkaian ICONIC 2024 dengan enam perusahaan mempresentasikan upaya mereka dalam mendukung dekarbonisasi. Qualitas Sertifikasi Indonesia (QSI) menekankan pentingnya sertifikasi keberlanjutan, sedangkan TREEO memperkenalkan teknologi penyerapan karbon berbasis data. Byo Living, ASTRA International Tbk., Zinkpower, dan Paragon Corp juga turut berpartisipasi dengan berbagai inovasi ramah lingkungan.
ICONIC 2024 lebih dari sekadar konferensi; PPI Jerman juga sedang menyusun analisis kebijakan (Policy Brief) yang akan dirilis dalam waktu dekat. Dokumen ini akan didistribusikan ke berbagai institusi dan organisasi terkait, menegaskan komitmen ICONIC 2024 untuk mendorong pembangunan rendah karbon yang berkeadilan.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait