TANGSEL,iNews.id – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendorong Mahkamah Agung (MA) untuk mengeluarkan pedoman penjatuhan hukuman pengganti restitusi.
Selain mengantisipasi perbedaan mencolok antarputusan, pedoman itu juga diharapkan dapat memaksimalkan hukuman pengganti restitusi pada tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Demikian disampaikan Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo seusai menyerahkan restitusi bagi korban TPPO bersama Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang Selatan (Tangsel) Aliansyah di kantor Kejari Tangsel, Banten, Selasa (22/3/2022). Dalam putusan hakim, pelaku diwajibkan membayar restitusi Rp9.275.000 dengan subsider kurungan pengganti selama enam bulan.
Selain menyerahkan restitusi, Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo juga memberikan apresiasi dan penghargaan kepada Kajari Tangsel dan jaksa penuntut umum di lingkungan Kejari Tangsel, yang dalam tuntutannya, tidak saja bertujuan ingin menghukum pelaku, tetapi juga berperspektif pada kepentingan dan pemenuhan hak korban.
Menurut Antonius, subsider hukuman pengganti maksimal dari majelis hakim seperti pada kasus TPPO yang ditangani Kejari Tangsel ini, maka pelaku atau terpidana dipaksa memilih untuk membayar restitusi kepada korban. “LPSK mengharapkan hakim berani menjatuhkan kurungan pengganti restitusi maksimal sampai dengan satu tahun,” kata Antonius dalam keterangan tertulis yang diterima hari ini.
Antonius menuturkan, LPSK menjumpai putusan hakim yang sangat beragam terkait kurungan pengganti restitusi. Dalam Putusan PN Tangsel bulan Mei 2020, restitusi sebesar Rp9.275.000 disubsider dengan kurungan pengganti selama enam bulan. Namun, pada perkara TPPO di pengadilan lain, restitusi sekitar Rp62 juta disubsider kurungan pengganti hanya dua bulan.
Antonius mengakui, keberhasilan restitusi masih minim. Artinya, restitusi yang dibayarkan kepada korban masih minim dalam segi jumlah, meski secara umum, restitusi pada TPPO menempati posisi paling tinggi di LPSK dibandingkan restitusi untuk kejahatan seksual ataupun restitusi pada kasus penganiayaan.
“Kita mengapresiasi kerja sama antara LPSK dengan Kejari Tangsel dan lapas setempat karena sejak awal persidangan sudah memiliki perhatian khusus terhadap restitusi yang diajukan korban,” ujar Antonius.
Masih kata Antonius, khusus perkara di Kejari Tangsel yang saksi dan korbannya menjadi Terlindung LPSK, sejauh ini ada dua kasus TPPO, yaitu pada kasus dengan korban D—yang restitusinya dibayarkan, dan kasus Kafe Venesia dengan empat 4 orang korban. Hanya saja, pada kasus Kafe Venesia tidak ada restitusinya.
“Bahkan, dalam putusannya, pada kasus Kafe Venesia disebutkan bukanlah kasus TPPO, melainkan kasus mempekerjakan anak. Untuk kasus dengan korban D, restitusi yang dibayarkan sejumlah Rp9.275.000,” ungkap dia.
Selain memaksimalkan hukuman pengganti atas restitusi, kata Antonius, upaya lain dalam memaksimalkan pembayaran restitusi, bisa dilakukan dengan penyitaan terhadap asset milik pelaku oleh aparat penegak hukum, atau selain pelaku, restitusi juga bisa dibebankan kepada pihak ketiga yang terkait dengan tindak pidana tersebut.
Pada kasus TPPO dengan korban D yang ditangani Kejari Tangsel ini, korban ditawari pekerjaan sebagai terapis di panti pijat. Setelah bekerja beberapa hari, selain sebagai terapis, korban baru mengetahui dia harus melayani tamu untuk berhubungan badan. Jika menolak melayani tamu berhubungan badan, korban dikenakan denda Rp75.000 per tamu oleh pelaku.
HUMAS LPSK
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait