JAKARTA, iNewsTangsel.id - Tidak dicantumkannya pasal suap dan TPPU dalam surat dakwaan terdakwa Zarof Ricar terkait barang bukti berupa uang senilai Rp 920 miliar dan 51 kilogram emas memunculkan dugaan adanya permainan hukum, penyalahgunaan wewenang, serta kejahatan dalam jabatan. Hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab Jampidsus Febrie Adriansyah, selaku pemimpin tertinggi di Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, yang memiliki kewenangan dalam penyidikan dan penuntutan perkara korupsi.
"Barang bukti berupa uang dan emas yang jumlahnya sangat besar seharusnya menjadi bukti terang benderang. Namun, jaksa justru membuatnya gelap dengan hanya mendakwa Zarof Ricar menggunakan pasal gratifikasi. Padahal, secara hukum, Zarof Ricar tidak memiliki kapasitas untuk menerima gratifikasi karena ia bukan hakim pemutus perkara. Bahkan, ada indikasi kuat bahwa terdapat meeting of minds antara pemberi dan Zarof Ricar sebagai perantara penerima suap dalam kasus ini. Dengan demikian, pasal suap dan TPPU semestinya diterapkan kepada terdakwa," ujar ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Dr. Azmi Syahputra, SH, MH, dalam sebuah diskusi publik di Jakarta, Selasa (25/3/2025).
Menurut Azmi, Jampidsus Febrie Adriansyah tentu memahami ketentuan dalam Pasal 143 KUHAP yang mewajibkan jaksa merumuskan dakwaan secara lengkap dan cermat. Namun, dakwaan terhadap Zarof Ricar justru dibuat tidak lengkap dengan tidak menguraikan asal-usul uang suap senilai Rp 920 miliar dan 51 kilogram emas yang ditemukan saat penggeledahan di rumahnya di Jl. Senayan No. 8, Kelurahan Rawa Barat, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Dalam penggeledahan tersebut, ditemukan pula catatan yang berisi nama-nama pihak yang terlibat, seperti "Titipan Lisa", "Untuk Ronal Tannur: 1466/Pid.2024", "Pak Kuatkan PN", serta "Perkara Sugar Group Rp 200 miliar". Catatan ini menguatkan dugaan bahwa uang sebesar Rp 200 miliar tersebut merupakan bagian dari suap kepada hakim agung yang menangani sengketa perdata antara PT Sugar Group Company (SGC) milik Gunawan Yusuf dengan Marubeni Corporation (MC). Bahkan, Zarof Ricar disebut-sebut telah menyebut beberapa nama hakim agung yang terlibat, termasuk Ketua MA Soltoni Mohdally, mantan Ketua Kamar Perdata MA asal Lampung, serta Hakim Agung Syamsul Maarif.
Namun, alih-alih mendalami dugaan tersebut, Jampidsus Febrie Adriansyah justru berdalih bahwa penyidik tidak wajib memeriksa seseorang hanya karena disebut oleh tersangka. "Sikap ini bisa berujung pada dugaan pelanggaran Pasal 412 dan Pasal 216 KUHP," tegas Azmi.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait