Marak Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan Tanah Air, Giwo Rubianto: Indonesia Sudah Darurat

Elva Setyaningrum
Maraknya kekerasan seksual pada perempuan membuat aktivis perempuan Giwo Rubianto Wiyogo prihatin dan sebut Indonesia darurat kejahatan seksual

JAKARTA, iNewsTangsel.id-Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan kembali menjadi sorotan publik, setelah kasus memilukan yang melibatkan guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM).

Peristiwa itu kembali menyoroti maraknya tindak asusila di lingkungan akademik, sekaligus menambah deretan kasus serupa yang melibatkan kalangan akademisi di institusi pendidikan tinggi. Sehingga saat ini Indonesia sudah masuk dalam status darurat kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Aktivis perempuan, sekaligus Ketua Umum Gerakan Perempuan Sejahtera (GWS) Giwo Rubianto Wiyogo menyatakan, keprihatinan mendalam atas kasus kekerasan seksual yang kembali mencuat di dunia pendidikan. Karena kasus seperti ini bukanlah yang pertama. Mirisnya, kerap berakhir tanpa kejelasan hukum yang tegas.

“Di awal ramai diberitakan, tapi ujungnya senyap tanpa kepastian hukum yang memberi efek jera," kata Giwo di sela-sela Halal Bihalal Gerakan Perempuan Sejahtera dan Koperasi Daya Karya Wanita di Bogor, Jawa Barat, Selasa (15/4/2025). 

Menurut dia, lemahnya implementasi undang-undang perlindungan perempuan menjadi akar dari terus terjadinya kekerasan seksual.

Selain itu, banyak aparat penegak hukum juga belum sepenuhnya menjalankan peraturan yang telah ada, termasuk menyampaikan ancaman hukuman secara terbuka kepada publik. Sehingga banyak pelanggaran yang diselesaikan dengan cara damai atau negosiasi keluarga. 

“Ini justru mengkhianati perjuangan korban dan melemahkan rasa keadilan. Kita tidak bisa lagi menoleransi kekerasan seksual dengan hukuman ringan atau negosiasi uang. Harus dihukum seberat-beratnya. Kita sudah darurat kekerasan terhadap perempuan dan anak. Apalagi jika pelakunya berasal dari institusi pendidikan, bahkan yang sedang menempuh pendidikan profesi. Ini sangat mencoreng dunia pendidikan kita," tegas Giwo. 

Menurut Giwo, kasus ini hanya satu dari “gunung es” kekerasan seksual di Indonesia. Untuk itu, pentingnya pendidikan karakter sejak dini di lingkungan keluarga, serta evaluasi terhadap sistem pengawasan internal di institusi pendidikan dan pelayanan publik.

Mengingat, kekerasan terhadap perempuan, terutama di institusi pendidikan, bisa berdampak jangka panjang secara psikologis, sosial, bahkan akademik.

"Jangan tunggu viral, baru bertindak. 
Masyarakat juga harus bersikap aktif. Kalau melihat kejahatan dan diam saja, kita juga bisa dikenai sanksi hukum. Ini bukan hanya tanggung jawab aparat, tapi seluruh elemen bangsa. Negara dan masyarakat harus bersama-sama melindungi perempuan dan anak. Ini soal masa depan bangsa,” imbuhnya. 

Pada kesempatan ini, Giwo juga menyinggung soal kurangnya empati dan perhatian terhadap korban. Karena korban harus mendapat pendampingan psikologis yang intens, sementara pelaku harus dihukum seberat-beratnya tanpa kompromi.

Untuk itu, praktik negosiasi antara pelaku dan keluarga korban yang kerap terjadi harus dihentikan karena hanya akan membuka ruang pembiaran.

Giwo mengungkapkan bahwa kalau di negara lain, hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual sangat berat. Itu membuat masyarakat jera. Indonesia juga harusnya seperti itu. Bukan malah membiarkan pelaku mendapat pengurangan hukuman sehingga tidak hadirkan efek jera.

"Masyarakat juga punya peran penting dalam mengawasi jalannya proses hukum agar tidak berhenti di tengah jalan. Terlebih, banyak korban di pedesaan atau daerah terpencil yang tak punya akses atau keberanian bersuara,” pungkas Giwo. 

Editor : Hasiholan Siahaan

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network