JAKARTA, iNewsTangsel.id - Perkembangan teknologi digital telah mengubah wajah demokrasi, membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas. Namun, di balik peluang tersebut, ancaman represi negara di ruang maya semakin nyata.
Hal itu disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam Diskusi Publik bertema “Demokrasi Digital: Antara Partisipasi dan Represi” yang digelar Aliansi Kebangsaan di Jakarta, Sabtu (16/8/2025).
Menurut Pontjo, teknologi digital mempercepat arus informasi dan memberi ruang bagi masyarakat untuk bersuara. Media sosial seperti Twitter, Instagram, dan TikTok bahkan menjadi motor gerakan sosial melalui tagar-tagar populer yang merefleksikan politik pasca parlemen, ketika aspirasi publik bergerak di luar institusi formal.
“Sayangnya, respons negara sering kali bersifat represif. Pembatasan digital dengan alasan memerangi hoaks dan radikalisme kerap tidak proporsional, sehingga justru mengancam kebebasan sipil,” ujarnya.
Ia mencontohkan praktik represi digital berupa pemblokiran internet, peretasan, doxing terhadap aktivis, hingga kriminalisasi warganet melalui UU ITE. Lebih jauh, penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk menyaring konten juga dinilai berpotensi memperkuat kontrol negara terhadap arus informasi.
Pontjo menegaskan, demokrasi digital seharusnya tumbuh sebagai ruang deliberatif yang bebas, bukan arena pengawasan sepihak. “Demokrasi digital harus menjadi wadah dialog terbuka antara publik dan pemerintah agar tetap sehat, partisipatif, dan tidak jatuh ke dalam praktik represi,” pungkasnya.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait