JAKARTA, iNewsTangsel - Perkembangan transaksi digital di Indonesia terus menunjukkan tren positif seiring pesatnya pertumbuhan. Kemudahan menjadi kunci utama tingginya penggunaan uang elektronik di masyarakat. Fenomena ini dipicu oleh kemudahan pengguna dalam bertransaksi, terutama lewat platform pembayaran digital seperti QRIS.
Menurut Peneliti Senior Tenggara Strategics, Galby Rifqi Samhudi, Bank Indonesia (BI) mencatat volume transaksi pembayaran digital mencapai 4,43 miliar transaksi pada Agustus 2025. Angka ini menunjukkan pertumbuhan signifikan sebesar 39,79 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), didukung oleh lonjakan transaksi QRIS hingga 145,07 persen yoy.
"Ketika pakai QRIS, ini bisa lebih lancar, lebih enak jajannya,” ujar Galby, mencontohkan transaksi warung makan, dalam diskusi Transaksi Digital di Jakarta, Kamis (25/9/2025).
Galby menilai faktor kemudahan ini tidak hanya mempermudah gaya hidup, tetapi juga mendorong inklusi keuangan berbasis teknologi. Namun demikian, ia menyoroti perlunya keseimbangan antara kemudahan dan keamanan transaksi digital yang harus diperhatikan. Saat ini, Indonesia telah memiliki mekanisme pengamanan yang memadai seperti PIN, OTP, dan biometrik.
Meskipun mekanisme pengamanan sudah memadai, Galby menyinggung potensi tantangan dari revisi terbaru UU ITE pasal 17 ayat 2A. Revisi ini mengatur transaksi elektronik berisiko tinggi harus menggunakan tanda tangan elektronik yang diamankan dengan sertifikat elektronik.
“Kira-kira bakal segampang ini nggak ya kita bayar pakai QRIS dan e-wallet dan lain sebagainya kalau ada tambahan layer sertifikasi elektronik?, nah ini yang perlu kita antisipasi,” papar Galby.
Selain regulasi, Galby juga menegaskan bahwa permasalahan keamanan digital tidak hanya terletak pada sistem, melainkan pada sisi pengguna. Menurutnya, literasi pengguna harus diperkuat, mengingat banyak kasus penipuan terjadi akibat kelalaian konsumen sendiri. Ini menunjukkan bahwa perlindungan paling kuat pun bisa runtuh karena faktor manusia.
Galby memberikan contoh ekstrem tentang kelalaian konsumen yang membahayakan keamanan transaksi. "Mau pengamanannya seketat apa pun gitu ya, kalau misalnya konsumennya itu bocor, kayak misalnya sudah dikirim OTP terus OTP-nya di upload di instastory gitu ya bocor juga," tegasnya. Kelalaian ini berujung pada kecurian dan hilangnya uang.
Galby juga menyoroti peran swasta dalam memperkuat ekosistem digital, misalnya lewat inisiatif Indonesia Anti Scam Center (IASC). Kolaborasi ini bersama regulasi yang memadai diharapkan dapat menjamin keamanan dan inklusi keuangan demi pertumbuhan ekonomi digital. Kesimpulannya, solusi keamanan harus komprehensif, mencakup teknologi, aturan, dan kesadaran pengguna.
Editor : Aris
Artikel Terkait
