Mahasiswa Indonesia Berpuasa di Kanada, Musim Panas Waktu Sholat Tarawih pun Mendekati Tengah Malam

Achmad Faisal Nasution
Dhafa Anam Ayatullah tetap berpuasa saat beraktivitas di kampusnya di Centennial Collage, Toronto Kanada, baru-baru ini. Foto/Achmad Faisal Nasution

BERPUASA dan menjalankan ibadah bulan Ramadan di negeri orang tentu berbeda bila dilakukan di Tanah Air.

Salah satunya saat melaksanakan sholat wajib dan sholat tarawih. Musim panas di Kanada bertepatan dengan Ramadan membuat jadwal sholat terus mundur dan sholat tarawih digelar hingga mendekati tengah malam.

Begitulah yang dirasakan warga negara Indonesia (WNI) Dhafa Ayatullah Anam yang kuliah Centennial Collage, Kanada, mengambil jurusan Robotic Automotion Engineering. 

Bagi pemuda berusia 22 tahun ini menjadi kesempatan bagi Dhafa meningkatkan ketakwaan sekaligus menyiarkan agama Islam kepada teman-teman kuliahnya. 

Mahasiswa asal Bali yang bernama lengkap Dhafa Ayatullah Anam ini sudah hampir empat tahun menuntut ilmu di Toronto, Kanada. 

Menurut Dhafa, tidak ada kendala dalam beribadah sejak tiba di Toronto pada Januari 2019 silam, karena di kampusnya disediakan ruangan untuk salat. Di dekat tempat tinggalnya di kawasan Scarborough juga ada masjid milik komunitas Srilanka. 

Hanya di pekan pertama Ramadan saja ia merasa sedikit kendala, karena padatnya jadwal kuliah dan harus beradaptasi dengan durasi puasa yang lebih lama dibandingkan di Tanah Air, yakni mencapai 16 jam. 

“Setelah berdiskusi dengan ayah di Bali dan merujuk fatwa-fatwa ulama Indonesia dan Amerika Utara, saya berpuasa sebagai musafir. Ada dua pilihan untuk waktu tidak normal, ikut durasi Indonesia atau satu daerah yang sebujur dengan Toronto. Saya pilih yang pertama. Tetapi hanya sepekan saja, setelah itu saya ikut durasi di sini (Kanada),” papar pemuda asal Dauh Puri Klod, Denpasar, Bali, ini, kepada iNews.id belum lama ini 

Dia selalu sholat  tarawih dan buka puasa di masjid di dekat kediamannya. “Lumayan menghematlah,” ujarnya seraya tertawa. Namun karena musim panas, jadwal salat terus mundur dan salat tarawih digelar hingga mendekati tengah malam, dan ia pun melaksanakannya di rumah. 

Seiring dengan itu, ia mulai bekerja part-time di satu restoran di Toronto. “Tahun pertama puasa saya bolong-bolong juga karena masih adaptasi dan bekerja. Tetapi bila mulai kerja pukul 06.00 sore saya bisa puasa,” imbuh dia. 

Saat berpuasa, Dhafa tetap bergaul dengan teman-teman kuliahnya yang nonmuslim. Terkadang seusai kuliah ia diajak nongkrong di restoran untuk ngobrol sembari makan siang. Dia ikut saja, tetapi tidak menyentuh makanan di meja sehingga sang teman bertanya-tanya. 

“Awalnya mereka heran melihat saya tidak makan dan minum. Tetapi setelah saya jelaskan, mereka mengerti dan memahaminya. Bahkan ada yang bertanya lebih jauh tentang Islam,” tutur pria yang menyelesaikan SMA-nya di Sunway Collage Subang Jaya Malaysia tersebut. Keadaan berubah total pada masa pandemi. Tidak ada lagi aktivitas di tempat umum, termasuk masjid yang dibatasi operasionalnya. 

Namun, kini sudah berangsur normal. Ramadan tahun ini, salat lima waktu sudah bisa digelar di masjid, juga tarawih. Sejak menetap di Kanada, putra dari pasangan Choirul Anam dan Seska Mutiara, yang berasal dari Sidoarjo dan Banyuwangi, Jawa Timur ini, merasakan kerinduan dengan kemeriahan Ramadan di Indonesia ataupun di Malaysia. 

Begitu masuk bulan suci, suasana sontak berubah, malam banyak kegiatan tadarus, kegiatan pengajian di siang hari di masjid-masjid digelar setiap hari dan banyak bazaar yang menjual takjil. “Di sini paling hanya buka puasa bersama,” tukasnya. Soal makanan, Dhafa merasa cocok-cocok saja dengan menu iftar yang disajikan masjid komunitas Srilanka, tempat ia sering berbuka puasa.

Ada menu seperti sirup dan es buah, kue yang berasa manis dan nasi briyani, kari dan roti. “Enak kok,” kata dia. Bungsu dari dua bersaudara ini memang memilih studi di negara di belahan Amerika Utara, sejak bersekolah di Malaysia. 

Di sekolahnya itu memiliki akses kuliah di Kanada, sehingga tidak perlu mengikuti penyetaraan. Ia tertarik dengan budaya di negara koloni Inggris itu, yang terbuka seperti Amerika Serikat, tetapi lebih ramah. Di samping itu, tujuh teman SMA-nya yang merupakan warga Malaysia juga kuliah di Toronto. 

“Orangtua mendukung untuk sekolah di luar negeri seperti kakak saya kuliah di Sidney, Australia. Walaupun mereka sempat bertanya juga mengapa saya memilih sekolah yang jauh,” katanya. Kini, di tahun akhir kuliahnya, Dhafa memiliki kesibukan menjadi peneliti di kampus maupun bekerja sama dengan pihak luar kampus. 

Dia pun sudah diajak bergabung di lembaga riset WIMTEC yang merupakan milik Centenilai College, begitu menamatkan kuliahnya. Semoga sukses Dhafa!.
 

Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network