JAKARTA, iNewsTangsel.id - Kelompok Teater Sinar Lilin, Jumat (15/12/2023) menggelar aksi teaterikal di halaman Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di Rawamangun, Jakarta Timur.
Aksi teaterikal yang diberi judul “Jangan Ganggu Anakku” itu berkisah tentang pengusutan kasus korupsi yang melibatkan lingkaran terdekat kekuasaan, dan akhirnya memakan korban, yakni lembaga yang bertugas memberantas korupsi.
Mahasiswa Universitas Nasional (Unas) Hasnu Ibrahim yang menjadi narator aksi teaterikal ini mengatakan, kisah ini terjadi di suatu negeri, bukan di Konoha, bukan juga di Wakanda.
Penguasa di negeri, dalam aksi teaterikal disebut sebagai Bos Negara, awalnya ketika belum berkuasa digambarkan para pemujanya sebagai pria yang sederhana dan terlihat lugu.
“Kala itu penampilannya seperti rakyat jelata. Namun seiring dengan berjalannya waktu, sari pati kekuasaan memabukkan dan membuatnya ketagihan,” ujar Hasnu.
Disambungnya, entah bisikan siapa dan dari mana, mulai muncul keinginan Bos Negara untuk berkuasa selama-lamanya. Segala cara dia gunakan untuk menumpuk kekuasaan. Dia mulai menempatkan orang-orang kepercayaan yang bisa dengan mudah disetirnya di berbagai posisi penting Negara.
“Tidak cukup sampai di situ, dia mulai mempersiapkan putra sulungnya untuk melanjutkan kekuasaan keluarga mereka,” kata sang narator lagi.
“Putra sulung ini dikarbit habis-habisan. Tak boleh diganggu. Siapapun yang menghalangi perjalanan sang putra sulung harus berhadapan dengan tentakel kekuasaan Bos Negara,” sambungnya.
Salah satu korban dari syahwat kekuasaan Bos Negara ini adalah Ketua Lembaga Anti Korupsi (LAK) yang digambarkan sebagai sosok yang lurus, yang bekerja mengikuti prosedur yang ada dan tidak mau main sepak bola gajah. “Dia harus berhadapan dengan tentakel kekuasaan Bos Negara, dan dibungkam,” kata Hasnu lagi.
Setelah itu adegan demi adegan pun dimulai.
Diawali dari seorang Aktivis yang gelisah setelah menemukan dugaan tindak pidana pencucian uang dan praktik nepotisme yang melibatkan orang-orang terdalam lingkaran kekuasaan termasuk anak-anak Bos Negara.
Setelah menyusun temuannya secermat mungkin, Aktivis yang diperankan oleh Ubedilah Badrun, seorang dosen dan aktivis pergerakan UNJ, mendatangi kantor LAK dan menyerhakan dokumen-dokumen penting itu kepada Ketua LAK.
Ketua LAK pun terkejut membaca narasi di dalam dokumen itu.
“Terkadang dia menggarukkan kepala, terkadang tampak terkejut. Beberapa kali mengelus dada tanda prihatin pada apa yang dibacanya. Lalu Ketua LAK berjalan ke arah Istana berniat menemui Bos Negara. Awalnya, dia tampak ragu-ragu. Jalannya maju dan mundur. Namun akhirnya mantap, melangkah ke Istana,” ujar Hasnu Ibrahim mengiringi adegan ini.
Sementara di Istana terlihat Bos Negara sedang bersenda gurau dengan kedua anaknya. Tidak jauh dari mereka berdiri gagah Kepala Polisi Nasional (KPN) dan Kepala Polisi Daerah (KPD) yang mengawal kekuasaan penghuni istana.
Tidak lama kemudian, Ketua LAK tiba di Istana. Setelah memberikan hormat kepada Bos Negara, dia menyerahkan dokumen-dokumen yang diperolehnya dari Aktivis Ubed. Membaca dokumen-dokumen itu, air muka Bos Negara langsung berubah. Jelas sekali dia terganggu dan marah.
Dia menuding-nuding Ketua LAK yang tetap berdiri menatapnya.
Setelah menyerahkan dokumen-dokumen tersebut, Ketua LAK balik kanan hendak kembali ke kantornya. Di saat itulah, Bos Negara memberikan perintah kepada KPN dan KPD untuk meringkus Ketua LAK.
Aksi teaterikal ini ditutup dengan adegan Ketua LAK diborgol, sementara rakyat di latar belakang menitikkan airmata.
Kami tidak tahu pasti, di titik mana kisah yang kami bawakan ini memiliki kemiripan dengan kisah yang terjadi di tanah air. Tapi, tentu saja kami prihatin bila kasus-kasus yang melibatkan orang di lingkaran terdalam kekuasaan hilang begitu saja ditelan nafsu kekuasaan,” ujar Hasnu.
Dia menambahkan, dalam waktu dekat mereka akan mementaskan aksi teaterikal ini di berbagai kampus. Diharapkan ini menjadi pendidikan politik yang baik agar masyarakat berhati-hati dalam memilih pemimpin nasiona. Tidak terjebak pada pencitraan semu sehingga yang berkuasa bukan serigala berbulu domba.
Editor : Hasiholan Siahaan