JAKARTA, iNewsTangsel.id - Indonesia memiliki potensi yang besar terkait dengan _carbon trade_ atau perdagangan karbon. Hal ini menjadi peluang bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Apalagi luas kawasan hutan di Indonesia mencapai 125,76 juta hektare atau terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo. Ditambah lagi juga telah dibentuk Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) yang dikelola oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai pasar perdagangan karbon.
"Tempat yang bisa menyerap karbon adalah hutan, hutan konvensional dan hutan mangrove. Hutan bakau itu tidak banyak negara yang punya, kecuali negara-negara di sepanjang garis khatulistiwa," kata Ketua DPD Golkar DKI Jakarta, Ahmed Zaki Iskandar di Jakarta, Selasa (13/2/2024).
Dijelaskan olehnya, perdagangan karbon merupakan jual-beli sertifikasi untuk menghasilkan emisi karbon dioksida dalam jumlah tertentu. Daerah yang memiliki hutan hujan dapat menjual kredit karbon dan mendapatkan penghasilan dari perusahaan atau negara pembeli emisi.
"Jadi pabrik-pabrik yang ngeluarin asap polusi itu kena pajak tinggi, karena mereka bikin polusi udara. Mau 'cuci dosa' biar nggak bayar pajak tinggi, mereka membeli tempat yang bisa menyerap karbon," ujar Bang Zaki, sapaan akrabnya.
Berdasarkan data World Bank per Maret 2023, harga pajak karbon tertinggi berada di Swiss dan Liechtenstein dengan USD 130,81/ton, disusul Swedia dengan USD 125,56/ton. Sementara yang terendah adalah Estonia USD 2,18/ton dan Ukraina USD 0,82/ton.
Adapun harga bursa karbon di Indonesia memiliki harga variatif tergantung sektor dari proyek masing-masing perusahaan. Untuk harga pasar reguler per 12 Februari 2024 berada di angka Rp 58.800 atau USD 3,79 per ton.
Menurut Bang Zaki, ini merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh daerah dengan hutan konvensional yang luas. Dimana nantinya hutan-hutan tersebut akan diperdagangkan dalam katalog Bursa Karbon Indonesia.
"Seluruh perusahaan di dunia yang menghasilkan polusi wajib 'nyuci dosa' polusinya kepada daerah-daerah yang memiliki hutan konvensional dan hutan mangrove. Ini yang menjadi potensi untuk dimanfaatkan daerah," lanjut Bang Zaki.
Hal ini juga telah diterapkan oleh Bang Zaki ketika menjadi Bupati Tangerang 2013-2023, dengan menanam hutan mangrove seluas 212 hektare dari potensi 219 hektare. Dengan potensi penyerapan karbon sekitar 950 ton/hektare, atau sekitar 208.050 ton.
"Jadi jika harganya Rp 58.800/ton, maka pendapatan yang bisa didapatkan adalah Rp 12,2 miliar. Ini menjadi tambahan besar jika daerah bisa memaksimalkan potensi ini," tutup Bang Zaki.
Editor : Hasiholan Siahaan