get app
inews
Aa Text
Read Next : Pameran Gerak Jakarta: Sejarah Ruang-Ruang Hidup, Jejak Transformasi Ibu Kota

Berdamai dengan Hati, Mengelola Kesehatan Mental Remaja

Rabu, 03 Juli 2024 | 19:17 WIB
header img
Ilustrasi novel "Rindu Tak Ada Ujung" (foto: Sabir Laluhu).

Judul Novel : Rindu Tak Ada Ujung
Penulis : Acidalia El Muqiit Kantiana S. Patramijaya (Asel)
Penerbit : PT Rihand Kreatif Indonesia (@rihandcreative)
Terbit: Cetakan 1, Oktober 2023
Tebal : 228 halaman (14cm x 17 cm)
ISBN : 978‐623-92001-8-3 dan 978‐623-92001-9-0 (pdf/e-book)

-------------------------------------
Sabir Laluhu*

REMBULAN tampak malu-malu menampakkan irasnya. Awan berarak sesukanya. Sebagiannya tampak kelabu, ada juga yang kehitaman. Di saat rinai hujan membasuh sebagian wilayah Jakarta pada Minggu malam, 30 Juni 2024, saya rampung mendaras novel “Rindu Tak Ada Ujung” karya Acidalia El Muqiit Kantiana S. Patramijaya yang karib disapa Asel dengan penuh kesan. Sekira dua menit kemudian, hujan deras melanda. Gemuruh guntur bersahutan dengan bunyi hujan.

Imaji saya seperti masuk kembali ke dalam kisah yang ditulis Asel. Saya membayangkan betapa tabah, sabar, dan sanggupnya Mahira sebagai tokoh utama (protagonis) dalam novel ini menghadapi kehidupan dan pergolakan batinnya saat usia remaja di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Bagaimana tidak, Mahira mampu berdamai dengan hatinya.

Jika sekilas membaca judul novel ini, pembaca mungkin berpikir novel ini akan bercerita ihwal dunia percintaan (remaja). Nyatanya kala novel ini diselami lebih dalam, maka pembaca akan mendapati betapa Asel ingin menunjukkan kehidupan remaja – melalui sudut pandang Mahira – di bangku SMP penuh intrik, trik, dan penuh tindakan eksentrik dalam bentuk perundungan (bullying). Sebab, bila perundungan dianggap tak eksentrik atau dianggap wajar, maka kehidupan seorang anak usia remaja atau usia berapapun akan dikejar-kejar dan dihantui trauma mental.

Hebatnya, Asel berhasil mengisahkan dan memotret dinamika, realita, dan problematika remaja di lingkungan sekolah dan rumah, khususnya terkait dengan perundungan (bullying), bagaimana remaja mengelola kesehatan mental di manapun, kapanpun, dan bagaimanapun kondisi/suasana hati, hingga agar remaja mampu berdamai dengan hatinya dan masa lalunya.

Bagi saya, yang paling signifikan juga adalah Asel mampu bertutur secara mengalir menggunakan tuturan atau gaya berbahasa kalangan remaja. 

Nilai lebih berikutnya dari novel ini yakni keberanian penerbit menghadirkan ilustrasi di setiap halaman. Ilustrasinya pas, tepat, dan eye catching. Sehingga, tak membuat pembaca bosan dan pembaca mendapat perspektif yang lengkap.

Kemudian, Asel pun berhasil membawa para pembaca masuk ke dalam alur cerita. Utamanya, menyelami dan membaur kehidupan remaja di lingkungan sekolah dan rumah – melalui sosok Mahira –, bagaimana sikap Mahira terhadap perundungan yang ia terima dari Adriana (tokoh antagonis), hingga sikap siswa/siswi maupun sekolah atas perundungan yang dialami oleh Mahira dan dilakukan oleh Adriana. Bukan hanya itu. Asel mampu menceritakan adanya geng di kalangan remaja hingga mengapa atau alasan Adriana melakukan perundungan.

Sosok Adriana, ibarat potret yang tergambar jelas dalam penggalan lirik lagu “Darah Muda” karya Rhoma Irama. 

Darah muda darahnya para remaja
Yang selalu merasa gagah
Tak pernah mau mengalah
Masa muda masa yang berapi-api
Yang maunya menang sendiri
Walau salah tak perduli
Darah muda

Biasanya para remaja
Berpikirnya sekali saja
Tanpa menghiraukan akibatnya
Wahai kawan para remaja
Waspadalah dalam melangkah
Agar tidak menyesal akhirnya

Novel “Rindu Tak Ada Ujung” karya Acidalia El Muqiit Kantiana S. Patramijaya (Asel) sangat menarik dan sangat layak dibaca oleh banyak kalangan. Terkhusus remaja usia SMP maupun SMA, sekolah, dan orang tua. Mengapa? Melalui novel ini, para remaja, sekolah, dan orang tua dapat mengambil pelajaran, di antaranya yakni bagaimana cara menyikapi perundungan yang dialami remaja khususnya di sekolah maupun bagaimana agar remaja bisa mengelola kesehatan mental di manapun, kapanpun, dan bagaimanapun kondisi/suasana hati.

Novel yang ditulis Asel turut menjadi pengingat dan alarm bagi para remaja, sekolah, orang tua, dan lingkungan sekitar bahwa perundungan masih terjadi dan dialami anak remaja usia sekolah. Juga menjadi pengingat dan alarm bagi kita semua agar terus “melawan”, meminimalisir, dan mencegah aksi perundungan di mana dan kapanpun.

Apa pasal? Tentu kita tak ingin mendengar lagi informasi atau berita tentang anak yang rusak jiwa dan mentalnya atau mengisolasi diri dari kehidupan sosialnya atau mengakhiri hidupnya akibat tak tahan dirundung. Ada banyak tamsil. Pada Juni 2024 saja, geger di jagat maya tentang korban NFN (perempuan, 18) yang merupakan siswi kelas sekolah menengah kejuruan (SMK) di Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat mengalami gangguan kejiwaan hingga berujung meninggal dunia yang disebabkan dugaan perundungan yang dialami korban selama tiga tahun. 

Sebelumnya, Februari dan Maret 2024, publik dibuat gempar dengan kasus dugaan perundungan disertai dengan kekerasan fisik yang menimpa korban A (laki-laki, 17), siswa SMA Binus School Serpong, Tangerang Selatan, Banten. A diduga dirundung oleh 12 siswa SMA Binus School Serpong yang tergabung dalam “Geng Tai”. Dari 12 siswa itu, di antaranya diduga ada anak pesohor atau public figure. Berdasarkan hasil visum et repertum yang dilakukan pihak Kepolisian, A menderita luka memar di leher, luka lecet di leher, luka bekas sundutan rokok di leher bagian belakang, dan luka bakar pada tangan kiri. Selain itu, dampak psikologis juga dialami A berupa ketakutan, perasaan tertekan, dan stres berat.

Apakah kabar atau informasi atau berita seperti dua contoh di atas tak mengiris dan menyayat hati kita? 

Oleh karena itu, novel “Rindu Tak Ada Ujung” karya Asel menjadi penegasan bagi kita semua, bahwa bullying atau perundungan – apapun bentuknya, siapapun pelakunya, dan bagaimanapun caranya – haruslah dihentikan. Stop bullying! Hentikan perundungan!

Novel ini turut juga memberikan ibrah bahwa para guru di lingkungan sekolah dan orang tua di lingkungan keluarga tak boleh abai dengan segala peristiwa yang dihadapi dan dialami remaja, terkhusus dalam konteks novel ini adalah di lingkungan sekolah. Khusus orang tua, perlu pula meluangkan waktu lebih banyak untuk anaknya (remaja) agar anak dapat menceritakan situasi, kondisi, atau peristiwa yang sang anak alami selama berada di sekolah maupun lingkungan sekitarnya. Asel – melalui sosok Mahira – memberikan pesan kuat yaitu orang tua tak boleh sekadar menuntut atau menjadikan anak sebagai mesin pendulang nilai akademik dan/atau prestasi lainnya, tanpa memperhatikan situasi batin (hati) sang anak.

Saya pun teringat penggalan puisi Kahlil Gibran, seperti berikut ini: 

Anakmu Bukanlah Anakmu.
Mereka putera-puteri Kehidupan yang damba kehidupan itu sendiri.
Mereka datang melaluimu namun bukan darimu.
Dan meski mereka bersamamu, mereka bukan milikmu.

Kau boleh memberi mereka cinta tapi bukan pikiranmu.
Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri
Kau bisa memberi tempat bagi raga tapi tidak bagi jiwa mereka.
Sebab, jiwa mereka hidup di rumah esok yang takkan mampu kau singgahi sekalipun dalam mimpi.

Kau boleh berupaya untuk menjadi seperti mereka namun jangan pernah berupaya menjadikan mereka seperti dirimu.
Sebab, hidup tak berjalan mundur atau tinggal di masa silam.

Kau adalah busur yang melesatkan anak-anakmu, sebagai anak panah kehidupan yang meluncur ke masa depan.
Lengkung busur itu mencari tanda di atas jalan lurus yang tak berujung, dan Dia melengkungkanmu dengan daya-Nya agar anak-anak panah melesat cepat dan jauh.

Kembali ke novel “Rindu Tak Ada Ujung” karya Asel. Ada secuil catatan kecil yang kiranya bisa diperbaiki oleh penerbit/editor novel ini ke depan bila novel ini diterbitkan ulang (cetakan berikutnya). Di antaranya, bahasa cakapan sebaiknya perlu ditulis miring (italic), jika memungkinkan. Contohnya kata “gak”. Kata “gak” pun bisa diedit dengan merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB) menjadi “enggak”. Kata atau kalimat berhasa Inggris juga sebaiknya dapat ditulis miring (italic).

Berikutnya, saya menyarankan pula, agar penerbit bersama Asel dapat terus menggemakan pesan dan nilai yang terkandung dalam novel ini serta terus melakukan upaya kampanye “stop bullying” atau “hentikan perundungan”. Satu di antara caranya adalah melakukan roadshow bedah novel di sekolah-sekolah. Paling tidak, jika roadshow bedah novel ini dimungkinkan dan memungkinkan.

Balik lagi ke judul novel ini yaitu “Rindu Tak Ada Ujung”. Pembaca akan menemukan alasan mengapa Acidalia El Muqiit Kantiana S. Patramijaya (Asel) memberikan judul demikian. Menurut Mahira, rindu untuk memiliki dunia yang damai (tanpa perundungan) tak boleh berakhir. Teruslah merindu. Rindu yang tak ada ujungnya. Rindu yang tak terlihat akhirnya di mana, kapan, atau bagaimana.

“Pesan yang mau aku sampaikan ialah teruslah rindu untuk sampai pada dunia yang penuh kedamaian dan kebaikan,” kata Mahira, seperti termaktub di halaman 220.

Mahira yang telah bertambah usia 20 tahun (dari sebelumnya masa SMP), berujar, kerinduan itu tak boleh berujung. Mengapa? Agar setiap hati selalu berjuang untuk menemukan cara melawan egonya. Bagi Mahira, orang yang di-bully harus menciptakan imunnya sendiri untuk bangkit dan menjadi hebat. “Kelak mereka akan mendidik banyak anak supaya mencintai sesamanya. Hingga pada akhirnya dalam hati mereka pun tumbuh rasa rindu untuk memiliki dunia yang damai.”

Penasaran dengan isi novelnya? Yuk, segera baca!

Last but not least, novel ini saya dapat dari ayah kandung Asel, Patra M. Zen, yang saya kenal baik sejak beberapa tahun silam. Saya telah menunaikan janji mendaras novel ini hingga tuntas. Dan, teruslah berkarya Asel.

*Peresensi adalah jurnalis sekaligus penulis dan editor buku.

Editor : Hasiholan Siahaan

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut