Pahala Nainggolan menyatakan, objek SPI termasuk SPI 2024 berbasis pada data bidang penindakan KPK. Misalnya apakah ada atau tidak jual-beli jabatan, pengadaan barang dan jasa, perizinan, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan kewenangan, dan lain sebagainya. Pelibatan 640 lembaga publik, menurut Pahala, berarti hampir seluruh instansi di Indonesia akan mendapatkan skor yang menggambarkan kedalaman korupsi termasuk risiko korupsi di instansi masing-masing.
“Secara sederhana, kita bilang bahwa korupsi itu problem di Indonesia semuanya sudah tahu, tapi, masalahnya berapa dalam sebenarnya korupsi itu. Jadi, SPI ini sebenarnya apa? Kalau saya bilang, ini survei mengukur kedalaman korupsi di masing-masing instansi,” ujar Pahala.
Mantan auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pemibangunan (BPKP) itu membeberkan, selain SPI yang diampu KPK memang ada Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) berbasis Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun dan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diselenggarakan Transparency International setiap tahun. Meski demikian, tutur Pahala, KPK mendesain SPI sedemikian rupa untuk menutup beberapa kelemahan IPK. Musababnya, hasil skor IPK khususnya untuk Indonesia belum tentu ada kelanjutan implementasinya.
“SPI ini pasti punya tindak lanjut. Jadi misalnya, kalau ada kelemahan di pengadaan barang dan jasa kemudian apa yang harus dilakukan. Panduannya sudah kita siapkan. Kalau misalnya jual-beli jabatan, orang internal bilang masih ada jual-beli jabatan, maka panduannya sudah kita siapkan juga bagaimana memperbaikinya. Jadi, SPI ini lebih konstruktif,” ungkapnya.
Nurul Ghufron menekankan, SPI memang berbeda dengan IPAK dan IPK. Pasalnya, IPAK memotret persepsi dan pengalaman personal warga serta IPAK hanya mengukur budaya zero tolerance warga terhadap korupsi skala kecil (petty corruption) dan bukan korupsi skala besar (grand corruption). Sementara, IPK berbasis pada persepsi pelaku usaha dan penilaian ahli dengan delapan indikator. Sedangkan, SPI diselenggarakan dengan tujuan membantu institusi memetakan risiko korupsi, mengukur efektivitas upaya pencegahan korupsi, dan memberikan rekomendasi atau panduan perbaikan yang taktis dan aplikatif.
Editor : Hasiholan Siahaan