JAKARTA, iNewsTangsel.id - Seiring memanasnya suhu politik Indonesia menjelang Pilkada Jakarta 2024, sebuah cerita muncul yang mengungkapkan kerumitan dan strategi kekuasaan yang berlangsung di balik layar. Anies Baswedan, yang dikenal sebagai salah satu calon terkuat di Pilkada Jakarta, ternyata pernah menjadi sasaran operasi politik yang dirancang dengan cermat oleh elite Partai Gerindra.
Menurut sumber yang dekat dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM), Anies tidak hanya dianggap sebagai ancaman di Pilkada Jakarta 2024, tetapi juga sebagai penghalang besar bagi Prabowo Subianto dalam Pilpres 2029 mendatang. Menghadapi potensi ini, Gerindra memilih pendekatan berbeda—bukan konfrontasi terbuka, melainkan tawaran yang menggoda: kursi menteri, dengan syarat Anies mundur dari pencalonan.
Manuver ini menunjukkan keseriusan Gerindra dalam menjaga dominasi politiknya. Mereka tampaknya lebih memilih untuk menghindari konfrontasi langsung di Pilkada, yang dapat meningkatkan popularitas Anies dan memberinya panggung politik yang lebih besar, daripada menghadapi Anies sebagai rival dalam Pilpres mendatang.
Namun, cerita ini tidak berhenti pada Anies saja. Dalam politik, efek domino seringkali tidak dapat dihindari. Partai-partai pendukung Anies, khususnya Golkar, juga menjadi target tekanan. Ketegangan antara Golkar dan Gerindra di beberapa wilayah Pilkada berujung pada terguncangnya kepemimpinan Golkar. Airlangga Hartarto, yang sebelumnya memimpin sebagai Ketua Umum, akhirnya terdepak dari posisinya, yang diduga sebagai bagian dari strategi untuk memperkuat kesatuan koalisi di bawah Prabowo.
Effendi Choirie, Ketua DPP NasDem, menyebut dinamika ini sebagai "manuver elite yang mengorbankan aspirasi rakyat." Gus Choi berpendapat bahwa keputusan-keputusan politik akhir-akhir ini, terutama terkait Pilkada Jakarta, lebih didorong oleh persekongkolan di tingkat elite daripada kehendak rakyat. Ini menciptakan apa yang ia sebut sebagai "tsunami politik" yang mengguncang peta kekuasaan.
Editor : Hasiholan Siahaan