Reklasifikasi Mitra Jadi Karyawan, Ekonomi Digital Terancam Rp178 Triliun

JAKARTA, iNewsTangsel.id - Rencana pemerintah untuk mengubah status mitra pengemudi dan kurir digital menjadi karyawan tetap dinilai berisiko mengganggu stabilitas ekonomi nasional. Kebijakan yang tampaknya dimaksudkan untuk memberi perlindungan kerja justru bisa berdampak sebaliknya: memicu lonjakan pengangguran, menurunkan pendapatan UMKM, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.
Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara), Agung Yudha, mengungkapkan bahwa sektor mobilitas digital—ojek online, taksi online, dan kurir—saat ini berkontribusi sekitar 2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, jika status mitra direklasifikasi menjadi karyawan, hanya 10–30% yang berpotensi terserap. Sisanya, hingga 90%, berisiko kehilangan pekerjaan.
“Reklasifikasi ini bisa menurunkan PDB sampai 5,5% dan membuat 1,4 juta orang kehilangan penghasilan,” kata Agung dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (22/4/2025). Total dampaknya bisa mencapai Rp178 triliun, dengan efek berantai ke berbagai sektor ekonomi lainnya.
Belajar dari Negara Lain
Langkah serupa di sejumlah negara justru menimbulkan masalah. Di Spanyol, 83% mitra pengemudi kehilangan pekerjaan saat status mereka diubah menjadi karyawan. Di Amerika, penerapan upah minimum membuat volume pesanan UberEats turun hingga 45%. Singapura dan Swiss juga mengalami lonjakan harga layanan dan penurunan signifikan pada permintaan.
Konsumen dan UMKM Paling Terdampak
Jika diterapkan di Indonesia, masyarakat yang bergantung pada layanan pengantaran—terutama lansia, penyandang disabilitas, atau mereka yang tinggal jauh dari pusat kota—akan menjadi pihak paling terdampak. Layanan penting seperti pengiriman makanan dan obat-obatan bisa terhambat, berpotensi menimbulkan krisis logistik di wilayah terpencil atau saat terjadi bencana.
UMKM juga menghadapi tekanan besar. Mereka yang selama ini memanfaatkan platform digital untuk menjangkau konsumen lebih luas, terancam kehilangan akses pasar. Biaya operasional bisa meningkat tajam seiring kemungkinan naiknya harga layanan akibat beban tambahan pada perusahaan teknologi.
“Tanpa layanan instan, bisnis e-commerce, restoran, apotek, hingga supermarket bisa kehilangan daya saing. Penurunan pelayanan akan berdampak langsung pada kepuasan pelanggan dan potensi omzet,” ujar Agung, Kamis (24/4/2025).
Dampak Sosial dan Multiplier Effect
Efek sosial dari kebijakan ini juga tidak bisa diabaikan. Lonjakan pengangguran informal, terutama di kota besar, berisiko menurunkan daya beli masyarakat. Ini bisa berimbas pada sektor lain seperti makanan, ritel, hingga layanan keuangan. Penurunan konsumsi pada akhirnya akan menekan penerimaan pajak negara.
Riset CSIS dan Tenggara Strategics menunjukkan, sektor ini berkontribusi Rp127 triliun ke perekonomian pada 2019. Dengan multiplier effect rata-rata dua kali lipat, potensi dampak ekonomi jika sektor ini terganggu bisa mencapai Rp178 triliun.
“Ekosistem digital ini bukan hanya soal pengemudi dan aplikasi, tapi juga menyokong lebih dari 1,5 juta UMKM. Jika layanan delivery menyusut hingga 70-90%, bukan hanya pendapatan yang hilang, tapi juga kepercayaan investor dan stabilitas ekonomi nasional yang ikut terganggu,” tegas Agung.
Editor : Hasiholan Siahaan