RUU PPRT Mendesak Disahkan, Pekerja Rumah Tangga Masih Rentan Kekerasan dan Tanpa Upah Layak

JAKARTA, iNewsTangsel.id - Kondisi pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia dinilai masih memprihatinkan. Banyak yang bekerja tanpa kontrak, tidak mendapat upah layak, jaminan sosial, dan rentan mengalami kekerasan, baik fisik, verbal, maupun ekonomi. Untuk itu, pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (RUU PPRT) dinilai mendesak.
Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, menegaskan bahwa pengesahan RUU ini bukan hanya soal perlindungan tenaga kerja, tapi juga bentuk nyata keadilan sosial dan penghormatan terhadap martabat manusia. “RUU ini sudah diperjuangkan sejak 2004, tapi belum juga disahkan sampai sekarang,” kata Nurhadi dalam diskusi Forum Legislasi di Gedung DPR RI, Selasa (6/5/2025).
Ia menyebut, saat ini terdapat lebih dari 4,2 juta PRT di Indonesia, yang perannya sangat penting dalam menopang produktivitas keluarga, terutama kelas menengah di perkotaan. “Mereka berkontribusi besar terhadap stabilitas ekonomi rumah tangga dan memungkinkan perempuan berpartisipasi di dunia kerja,” tambahnya.
Namun, data menunjukkan lebih dari 3.300 kasus kekerasan terhadap PRT terjadi dalam periode 2021–2024. Bentuk kekerasan yang paling sering terjadi adalah penundaan atau pemotongan gaji, jam kerja berlebihan tanpa kompensasi, dan kekerasan verbal.
Ari Ujianto dari jaringan Jala PRT mengungkapkan, banyak PRT masih dianggap sebagai profesi kelas bawah. Bahkan tak sedikit yang malu mengakui pekerjaan mereka. “Kekerasan ekonomi, seperti gaji tak dibayar atau kerja tanpa istirahat, masih sering terjadi,” jelasnya.
Ia menambahkan, jika terjadi kekerasan fisik, biasanya sudah didahului oleh bentuk kekerasan lainnya. “Waktu kerja PRT bisa sangat panjang. Dari pagi membersihkan rumah hingga malam hari mengurus anak majikan,” ujarnya.
RUU PPRT diharapkan dapat menjadi payung hukum yang melindungi hak-hak dasar PRT dan mengakui mereka sebagai pekerja formal yang setara dengan profesi lainnya.
Editor : Hasiholan Siahaan