RUU Penyiaran Dinilai Ketinggalan Zaman, Tak Sentuh Platform Digital

JAKARTA, iNewsTangsel.id - Revisi Undang-Undang Penyiaran kembali menjadi sorotan di DPR RI. Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar, Abraham Sridjaja, menilai naskah revisi yang dibahas sejak 2012 itu sudah tidak sesuai dengan realitas perkembangan teknologi digital saat ini.
Menurut Abraham, rancangan regulasi tersebut belum mencakup platform over-the-top (OTT) seperti YouTube, TikTok, atau Netflix. Hal ini dinilai menimbulkan kekosongan hukum sekaligus ketimpangan dalam sistem pengawasan konten.
“Kalau semua dimasukkan ke KPI, lembaganya bisa jadi terlalu kuat. OTT berbeda dengan penyiaran konvensional, jadi perlu ada pengaturan tersendiri agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan,” ujarnya dalam Forum Legislasi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (18/6/2025).
Senada dengan itu, Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Mohamad Reza, menyampaikan bahwa kewenangan KPI hanya mencakup konten siaran yang telah tayang melalui jalur konvensional. Namun, banyak aduan publik justru datang terkait konten digital.
“Kami kerap menerima laporan soal YouTube atau media sosial. Padahal, itu bukan ranah KPI. Ini menunjukkan masih adanya kebingungan publik mengenai mekanisme pengaduan,” kata Reza.
Ia juga menekankan pentingnya perlakuan yang setara antara konten televisi dan digital, terutama untuk isu sensitif seperti kekerasan seksual dan eksploitasi anak. Menurutnya, konten serupa di ranah digital seringkali luput dari pengawasan yang ketat.
DPR dan KPI sepakat bahwa revisi UU Penyiaran harus dilakukan secara menyeluruh dan hati-hati. Tujuannya bukan sekadar memperbarui aturan lama, melainkan membangun sistem regulasi yang adil, jelas, dan mampu menjawab tantangan di era digital tanpa menciptakan monopoli kewenangan.
Editor : Hasiholan Siahaan