Peneliti Bongkar Pendanaan Kotor di Balik Energi Bersih
JAKARTA, iNewsTangsel.id - Upaya Indonesia mempercepat transisi energi kembali dipertanyakan, setelah sejumlah peneliti mengungkap berbagai praktik pendanaan yang dinilai tidak sejalan dengan komitmen keberlanjutan. Alih-alih mengurangi jejak emisi dan memperkuat keadilan ekonomi, sebagian aliran dana menuju proyek energi bersih justru menyimpan jejak kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial.
Peneliti The PRAKARSA, Dwi Rahayu Ningrum menjelaskan, industri nikel justru menimbulkan beban sosial yang tidak kecil bagi masyarakat sekitar tambang. Dalam industri ini, proses transisi energi tidak boleh menafikan keadilan bagi masyarakat terdampak.
“Negara wajib memastikan distribusi manfaat dan beban yang adil. Penggunaan royalti nikel tidak boleh hanya untuk mensubsidi industri, tetapi harus diprioritaskan untuk memulihkan kerugian ekonomi warga,” katanya dalam workshop bertajuk “Reportase Keuangan Berkelanjutan dan Transisi Energi di Indonesia”, yang digelar di Jakarta, akhir pekan kemarin.
Menurutnya, kelompok rentan, mulai dari masyarakat adat, perempuan, hingga penyandang disabilitas seringkali menjadi korban kebijakan industrialisasi tanpa mekanisme perlindungan yang memadai.
“Untuk itu, pentingnya Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) sebagai standar etis untuk melibatkan komunitas terdampak dalam setiap proyek nikel,” tegasnya.
Sementara itu, peneliti CELIOS, Rani Septyarini, memaparkan bagaimana keuangan berkelanjutan seharusnya menjadi fondasi bagi transisi energi di Indonesia. Ia menyederhanakan konsep tersebut dengan kalimat yang mengena: “Uang tetap bekerja seperti biasa, tapi diarahkan ke hal-hal yang tidak merusak masa depan.”
“Sejumlah instrumen, seperti Green Bonds dan Sustainability-Linked Loans. Namun, sektor finansial perlu diawasi ketat agar tidak terjebak pada praktik greenwashing ketika proyek atau perusahaan mengklaim diri “hijau” meskipun tidak memberikan dampak nyata bagi lingkungan,” terangnya.
Pada kesempatan yang sama, Program Director TuK Indonesia, Linda Rosalina, menunjukkan bagaimana sektor perbankan, khususnya bank-bank BUMN, memiliki peran signifikan dalam pembiayaan proyek yang berdampak negatif bagi lingkungan.
“Netral adalah mitos. Karena Bank di Indonesia, utamanya Bank BUMN, menjadi kreditor terbesar dalam memfasilitasi kerusakan lingkungan. Ironinya, keuntungan dari kerusakan itu justru kembali ke pemegang saham di negeri asalnya, bukan di Indonesia,” ungkap Linda.
Menurut Linda, tanpa transparansi dan akuntabilitas pembiayaan, ambisi transisi energi Indonesia akan terus berada dalam bayang-bayang konflik kepentingan.
“Masa depan energi Indonesia tidak hanya ditentukan oleh teknologi, tetapi juga oleh keberanian mengikuti aliran uang dan memastikan pembangunan berjalan tanpa mengorbankan masa depan rakyat,” imbuhnya.
Research Manager Trend Asia, Zakki Amali, menambahkan, bagaimana struktur perusahaan dan rantai pasok sering dirancang kompleks untuk menyamarkan aktor-aktor besar di balik proyek energi. Semua itu bisa diketahui dengan teknik investigasi Follow The Money.
“Siapa pelanggan atau pembeli utama? Apa ada kontrak besar jangka panjang? Lebih banyak uang yang terlibat, berarti lebih banyak leverage untuk advokasi,” ucapnya.
Zakki memaparkan metode memeriksa dokumen bursa efek, penggunaan Google Dorking, hingga menelusuri keterlibatan lembaga pembiayaan seperti Bank Komersial, Development Finance Institutions (DFI), dan Sovereign Wealth Fund (SWF).
Melalui metode ini, jurnalis diharapkan mampu mengungkap hubungan pendanaan yang kerap bersembunyi di balik perusahaan-perusahaan pencemar lingkungan,” pungkasnya.
Editor : Elva Setyaningrum