Oplosan Pertalite Tak Terbukti? Pengamat Minta Aparat Usut Sumber Fitnah Massal
JAKARTA, iNewsTangsel.id - Sidang perkara dugaan korupsi yang sebelumnya ramai disebut sebagai kasus “oplosan Pertalite jadi Pertamax” kembali mencuri perhatian. Namun kini, selama proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, narasi besar yang sempat mengguncang opini publik itu justru tak menemukan pijakan kuat.
Tiga terdakwa dari pihak swasta—Muhammad Kerry Adrianto Riza, Gading Ramadhan Joedo, dan Dimas Werhaspati—serta tiga terdakwa dari Pertamina, yakni Riva Siahaan, Sani Dinar Saifuddin, dan Yoki Firnandi, kini menjalani rangkaian sidang atas dakwaan korupsi. Namun isu “oplosan” yang semula membuat publik marah justru tak mengemuka lagi di ruang sidang.
Pengamat kebijakan publik dari Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie menilai polemik yang membesar pada Februari 2025 itu seperti tak sejalan dengan fakta yang muncul di pengadilan. Ia menyebut kasusnya “jauh api dari panggang”.
“Selama persidangan tidak terbukti adanya aksi oplosan. Justru kasus yang berkembang berbeda dari heboh awal tahun. Ironisnya, netizen yang dulu ramai membongkar dan menekan, kini diam,” ujar Jerry di Jakarta, Sabtu (6/12/2025).
Menurut Jerry, publik semestinya tetap mengawal proses hukum hingga tuntas, apalagi pemerintah di bawah Presiden Prabowo telah menegaskan komitmen memberantas mafia dan mencegah kriminalisasi. Ia menilai para terdakwa, termasuk Kerry, menjadi pihak yang paling dirugikan bila tuduhan “oplosan” ternyata tak pernah terbukti.
“Pertamina pun ikut dirugikan karena sempat menerima stigma negatif. Padahal sejak Februari 2025, VP Corcomm Fadjar Djoko Santoso sudah membantah adanya oplosan tersebut,” tegasnya.
Jerry bahkan menyebut adanya potensi “fitnah massal” dalam kasus ini. Bila pengadilan kelak menegaskan tidak ada kegiatan oplosan, maka ia menilai aparat perlu menelusuri siapa pihak yang mengompori tuduhan awal tersebut. “Aparat harus mampu memisahkan mana fakta dan mana opini yang menyesatkan,” ujarnya.
Dalam sejumlah kesempatan, Presiden Prabowo juga menegaskan agar tidak ada kriminalisasi terhadap perkara yang tidak berdasar. Pesan itu disampaikan dalam kunjungannya ke Kejaksaan Agung, 20 Oktober lalu: “Yang benar katakan benar, yang salah katakan salah.”
Hingga sidang ketujuh, pengadilan telah menghadirkan sejumlah saksi kunci dari salah satu Bank BUMN dan Direktur PT Jenggala Maritim Nusantara (JMN) Ario Wicaksono. Keduanya menjelaskan proses kredit kapal yang diajukan PT JMN—perusahaan milik terdakwa Kerry.
Aditya menegaskan, keputusan kredit dibuat sepenuhnya berdasarkan analisa internal Bank Mandiri tanpa campur tangan Pertamina maupun Pertamina International Shipping (PIS). Informasi dari PIS, katanya, hanya sebatas kebutuhan teknis terkait pasar dan spesifikasi kapal.
Ario juga menyampaikan bahwa pengajuan kredit dilakukan sesuai ketentuan dan disetujui jauh sebelum JMN memenangkan tender penyewaan kapal di PIS. Keterangan kedua saksi menguatkan bahwa fasilitas pembiayaan merupakan keputusan independen bank.
Sementara itu jaksa mendakwa Kerry dengan pasal terkait tindak pidana korupsi, yakni Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sidang masih berlanjut dan publik menunggu apakah narasi besar “oplosan Pertalite-Pertamax” yang dulu berkobar benar-benar memiliki dasar atau justru menjadi kabut yang menutupi duduk perkara sebenarnya.
Editor : Hasiholan Siahaan