JAKARTA, iNewsTangsel.id - Permasalahan terkait kondisi guru di Indonesia terus menjadi perhatian publik. Perubahan kebijakan hingga kurikulum yang berganti-ganti belum memberikan dampak signifikan, terutama bagi guru honorer. Salah satu contoh nyata dialami oleh Andriyawati (45), seorang guru honorer di SDN 6 Wawonii Barat, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Ia sedang menunggu proses pengangkatan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Guru Ati, begitu ia akrab disapa, telah mengabdikan dirinya selama 17 tahun untuk mencerdaskan generasi muda di Wawonii.
Semangatnya untuk mendidik para siswa tak pernah surut. Saat ini, Guru Ati mengajar 50 siswa di tengah keterbatasan fasilitas sekolah yang rusak. Kondisi ini memaksa siswa belajar di perpustakaan atau bergabung dengan kelas lain. Selain itu, perjalanan menuju sekolah yang jauh dan sulit, terutama saat musim hujan, tidak menjadi penghalang baginya untuk tetap memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya.
Menanggapi keluhan para guru honorer, Direktur Advokasi Kebijakan IDEAS, Agung Pardini, menegaskan bahwa pemerintah belum sepenuhnya memenuhi hak guru honorer untuk mendapatkan penghasilan layak. Padahal, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah mengatur hal tersebut.
"Dari total 3,7 juta guru di Indonesia, sebanyak 2,06 juta atau 56 persen adalah guru honorer. Sebagian besar dari mereka masih menerima upah jauh di bawah standar kelayakan, bahkan di beberapa daerah hanya mendapat gaji kurang dari Rp 500 ribu, terutama di jenjang SD dan MI," ungkap Agung dalam diskusi di Antara Heritage, Selasa (26/11).
Agung menjelaskan bahwa gaji guru honorer masih bergantung pada Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dengan alokasi maksimal 50 persen untuk sekolah di bawah Kemendikbud dan 60 persen untuk sekolah di bawah Kemenag.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait