“Tradisi ini cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Dalam pandangan positivistik, hukum yang dibuat oleh penguasa secara legal-formal dalam bentuk peraturan perundang-undangan dianggap sebagai satu-satunya sumber hukum. Akibatnya, ruang untuk mengakomodasi hukum yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat menjadi sangat terbatas,” jelasnya.
Menurut Pontjo, tradisi hukum yang terlalu positivistik dan legal-formal rentan terpengaruh bias kekuasaan politik. Produk hukum yang dihasilkan sering kali hanya menjadi alat untuk melegitimasi kepentingan politik eksekutif maupun legislatif.
“Hukum yang seperti ini mudah tergelincir menjadi instrumen kekuasaan, yang oleh para teoritikus hukum kritis disebut sebagai autocratic legalism. Fenomena ini berhubungan erat dengan menurunnya kualitas demokrasi, pengabaian kedaulatan rakyat, dan melemahnya keadilan sosial. Ciri-cirinya terlihat pada demokrasi yang cacat serta semakin menyempitnya ruang partisipasi warga,” tutup Pontjo.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait