Ia menambahkan, pengecekan lapangan hanya dilakukan untuk jalur domisili. Sementara jalur afirmasi tidak memiliki mekanisme verifikasi langsung, kecuali jika ditemukan kejanggalan.
“Kami terbatas. Tidak semua bisa kami telusuri. Hanya jika ada indikasi, baru kami lakukan klarifikasi,” katanya.
Salah satu kasus yang sempat terjadi, lanjut Kunardi, melibatkan dua saudara kandung yang tinggal di satu rumah namun tercatat memiliki jarak berbeda ke sekolah karena kesalahan penempatan titik lokasi saat pendaftaran.
Ia juga mengkritik sistem digital SPMB yang dinilai belum mampu menyaring calon peserta dari keluarga miskin secara akurat berdasarkan data DTKS. Menurutnya, sistem belum mampu memilah berdasarkan tingkat kesejahteraan secara proporsional.
“Seharusnya desil 1 sampai 5 diprioritaskan. Tapi di lapangan, banyak yang dari desil atas justru lolos, sementara yang benar-benar membutuhkan malah tertolak,” ujarnya.
Kunardi mendorong agar sistem seleksi digital yang dikembangkan Dinas Komunikasi dan Informatika Tangsel diperbaiki. Menurutnya, prioritas dalam seleksi harus dimulai dari penyandang disabilitas, lalu siswa dengan bantuan pendidikan, dan terakhir berdasarkan data kesejahteraan.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait