Karena itu, ia menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada model AI dari luar negeri. Model tersebut belum tentu sesuai konteks sosial, budaya, dan kebutuhan nasional.
Kesiapan masyarakat dalam memanfaatkan AI juga menjadi perhatian. Pemerintah memperluas akses pelatihan melalui program Digital Talent Scholarship, iCall Center, hingga pengembangan AI Talent Factory. Program ini telah berjalan di Universitas Brawijaya dan mulai diperluas ke kampus-kampus besar lainnya pada 2025.
Tidak hanya pendidikan tinggi, literasi AI juga mulai didorong sejak tingkat dasar dan menengah. Nezar menyebutkan perlunya pembaruan kurikulum agar siswa tidak hanya menggunakan teknologi, tetapi memahami cara kerjanya.
“Anak-anak hidup di masa ketika teknologi ini sangat dominan. Mereka perlu dibekali cara berpikir kritis agar tidak menyerahkan semua proses belajar kepada mesin,” katanya.
Meski membawa banyak peluang, Nezar mengingatkan bahwa AI juga menimbulkan risiko besar, terutama soal keamanan data, disinformasi, dan konten manipulatif. Salah satu ancaman yang paling serius adalah maraknya deepfake yang kian sulit dibedakan dari konten asli.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait
