JAKARTA, iNewsTangsel.id - Pelantikan dua pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM pada Jumat (28/11) memicu gelombang kritik dan pertanyaan hukum. Salah satu sorotan utama adalah pengangkatan Irjen Pol. Drs. Hendro Pandowo, M.Si — perwira aktif Polri — sebagai Inspektur Jenderal Kemenkum, yang dinilai bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
Putusan MK yang dibacakan pada 13 November 2025 menutup celah hukum yang selama ini memungkinkan anggota Polri menjabat posisi sipil tanpa terlebih dahulu mengundurkan diri atau pensiun. Namun, proses seleksi yang menghasilkan nama Hendro dilaporkan baru diumumkan pada 5 November 2025, delapan hari sebelum putusan MK dikeluarkan — memunculkan pertanyaan mengenai status hukum pelantikan yang berlangsung tiga minggu setelahnya.
Prans Shaleh Gultom, Direktur Aspirasi Murni Masyarakat (AMM), mengkritik keras langkah kementerian. “Putusan MK berlaku langsung sejak 13 November. Mengapa Menkum tetap ngotot melantik anggota Polri aktif sebagai Irjen Kemenkum pada 28 November? Ini bertentangan dengan putusan MK yang final dan mengikat,” kata Prans, Sabtu (29/11/2025). Ia juga meminta penjelasan resmi terkait tanggal terbitnya SK penetapan yang mendahului atau mengikuti putusan MK.
Kritik bertambah lantaran pelantikan Irjen Hendro disebut-sebut digelar tertutup dan tidak dipublikasikan melalui kanal resmi kementerian, berbeda dengan pelantikan pejabat lain yang diunggah di media sosial Kemenkum. Ketidaksamaan perlakuan ini menimbulkan dugaan bahwa pelantikan tersebut sengaja diselenggarakan tanpa sorotan publik.
Jaringan Masyarakat Muda (JMM) menilai penempatan polisi aktif dalam jabatan sipil merupakan pelanggaran konstitusi. “Jika Polri aktif menjabat posisi sipil tanpa melepas status keanggotaannya, itu inkonstitusional berdasarkan Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025. Kemenkum seharusnya menjadi teladan dalam menaati hukum, bukan justru melanggarnya,” ujar Adrian, koordinator JMM.
Selain masalah status keanggotaan Polri, proses pengisian jabatan Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) yang menetapkan Hermansyah Siregar, S.H., M.H juga disorot. JMM menuduh penunjukan itu dilakukan tanpa mekanisme seleksi terbuka (open bidding) sebagaimana diatur untuk jabatan tinggi madya. “Jika penunjukan dilakukan tanpa open bidding, ini melanggar prinsip meritokrasi dan transparansi, serta bisa memicu konflik kepentingan,” kata Adrian.
Pernyataan publik sebelumnya dari Menteri PANRB, Rini Widyantini, mengingatkan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. “Putusan MK langsung mengikat dan final. Kita harus menghormatinya,” ucap Rini saat memberikan keterangan beberapa hari setelah putusan dibacakan. Pernyataan ini kontras dengan pernyataan Menkum Supratman Andi Agtas yang sebelumnya menyebut polisi aktif yang sudah menduduki jabatan sipil “tak perlu mundur”, pernyataan yang kini menjadi bahan perdebatan publik.
Pengamat hukum tata negara menilai kasus ini membuka perdebatan tentang interpretasi putusan pengadilan konstitusi dan praktik administrasi negara. Mereka mendorong klarifikasi formal dari Kemenkum tentang dasar hukum pelantikan, tanggal penerbitan SK, serta apakah ada mekanisme administratif yang mengubah status kepegawaian sebelum pengangkatan.
Hingga kini, Kemenkum belum mengeluarkan keterangan resmi yang merinci proses administratif pelantikan Irjen Hendro maupun mekanisme seleksi DJKI. Kelompok masyarakat sipil mendesak agar kementerian melakukan evaluasi transparan dan, bila perlu, membatalkan atau menunda pelantikan sampai kejelasan hukum tercapai.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait
